Bisnis.com, JAKARTA -- Kartu kredit telah membuat perempuan berumur 40 tahun ini bangkrut. Apa yang menyebabkannya hingga bangkrut?
Seorang perempuan asal Australia yang enggan disebutkan namanya bercerita kisah tragisnya itu di SBS.com pada Jumat (03/05/2019).
Dia berutang dengan nilai di bawah US$100.000 atau setara Rp1,42 miliar [kurs US$1 = Rp14.275]. Namun, dirinya benar-benar telah gagal melunasi utang tersebut.
Kisahnya berawal dari kartu kredit pertamanya pada 10 tahun lalu atau sekitar 2009. Kartu kredit seolah membantunya dalam memenuhi kebutuhan kompulsif seperti, sepatu, pakaian, teknologi, dan perjalanan liburan.
"Kebutuhan kompulsif adalah sikap kecemasan yang terjadi terus berulang dengan kalimat "Aku ingin, aku kayaknya perlu, dan sebagainya"
"Jujur saja, saya sangat materialistis ketika masih muda. Saya berpikir dengan menggunakan sesuatu yang terbaik membuat orang memandang positif diri saya," ujarnya.
Pinjaman pertamanya adalah ketika dia membeli mobil. Dirinya merasa sangat membutuhkan kendaraan tersebut.
Baca Juga
Lalu, lilitan utang berlanjut dengan kartu kredit kedua, ketiga, hingga dia tidak bisa mengelola dengan baik.
Usaha Lepas dari Kartu Kredit yang Sulit
Ketika utang telah membumbung, dia sempat berusaha untuk menghentikan kartu kreditnya. Namun, menutup kartu kredit tidak semudah yang dibayangkan.
Dia mengatakan, ketika ingin menutup kartu kreditnya, dirinya terus diputar-putar dari satu departemen ke departemen lain. Setelah itu, akhirnya kartu kredit berhasil ditutup, tetapi kartu baru kembali dikirim lewat pos dan saya kembali menggunakannya.
Ini menjadi siklus berulang sehingga dia menerapkan strategi gali lubang tutup lubang demi menutup utangnya tersebut.
"Itu hal yang sangat mengerikan," ujarnya.
Akhirnya, dia memutuskan untuk ke bank demi mendapatkan beberapa saran untuk pengelolaan keuangan lebih baik. Sayangnya, dia hanya mendapatkan penawaran jenis kartu kredit lainnya.
Jumlah utangnya pun makin membumbung tinggi. Kebiasaannya liburan atau memiliki kehidupan yang serba ada sudah tidak bisa dilakukan demi melunasi utang-utang tersebut.
Dia sempat menghubungi perusahaan yang memberikan jasa bantuan utang. Sayangnya, ada biaya besar untuk layanan itu, sedangkan saya sudah tidak memiliki uang lagi.
"Saya merasa lebih mudah memberi tahu kalau saya gay ketimbang punya utang banyak kepada keluarga," ujarnya.
Alhasil, dia mengajukan perjanjian kesulitan pembayaran utang dengan perusahaan kredit. Namun, keputusan itu hanya membantu sementara saja.
Sudah buntu, dia pun menghubungi the Australian Financial Security Authority (AFSA), sebuah lembaga saluran bantuan utang Negeri Kangguru tersebut.
Dia mendapatkan dua pilihan, pertama terus membayar utangnya selama sisa hidup, tetapi bakal sulit untuk dilunaskan. Kedua, mengakui kebangkrutan.
Nasib Setelah Mengaku Bangkrut
Setelah mengajukan permohonan kebangkrutan sukarela. AFSA menunjuk seorang wali amanat untuk mengelola keuangan pihak yang bangkrut tersebut. Tujuannya untuk mengelola keuangan.
Dampaknya, selama lima tahun ke depan akan muncul laporan kredit kalau statusnya adalah bangkrut sehingga tidak bisa mengajukan pinjaman lagi.
Selain itu, dia akan tercatat ke dalam indeks kepailitan pribadi nasional seumur hidupnya. Selama itu, bisa saja kehilangan aset seperti rumah, mobil, perhiasan, dan barang berharga lainnya.
Buruknya lagi, dengan status pailit, bisa membuat kesulitan dalam pekerjaan seperti, tidak bisa naik posisi hingga ke jajaran direksi.
Lalu, status bangkrut itu juga membuat sulit berpergian ke luar negeri. Jika ingin ke negara lain, dia harus mendapatkan izin dari wali amanat dan membayar sejumlah biaya.
Pentingnya Literasi Keuangan Sejak Dini
Perempuan asal Australia itu mengaku selama masih kecil dia diberikan pelajaran etika kerja yang kuat oleh orang tuanya. Sayangnya, dia tidak pernah diajarkan tentang cara mengelola uang, termasuk kartu kredit.
"Saya tidak pernah tahu konsep kartu kredit itu adalah kartu utang," ujarnya.
Dia meilai perlu banyak pendidikan dan diskusi tentang keuangan pribadi di sekolah.
"Teori Phytagoras tidak membantu saya ketika berurusan dengan uang," ujarnya.
Menurutnya, dari sisi bank ada sistem yang perlu diubah.
Dia menilai model bisnis yang digunakan bank seolah dirancang untuk mengambil uang nasabahnya.
"Setelah kamu berutang, mereka akan tetap menjagamu tetap seperti itu terus," ujarnya.