Bisnis.com, JAKARTA – Fenomena yang merebak, khususnya di kalangan milenial urban pada awal-awal karier adalah pengeluaran gaya hidup yang melebihi penghasilan.
Gaya hidup yang cenderung konsumtif dan mengabaikan kemampuan finansial menjadi penyebab utama masalah keuangan di kemudian hari, akhirnya utang menumpuk, tabungan menipis, bahkan terkikis sama sekali, atau tidak memiliki instrumen investasi.
Premier Banking and Emerging Affluent Proposition Head Bank OCBC NISP, Chinni Yanti Tjhin menjelaskan, fenomena gaji yang hanya sekadar numpang lewat di rekening tabungan, biasanya disebabkan oleh banyaknya tagihan konsumtif pada kartu kredit.
“Cicilannya mending untuk membeli rumah, [tetapi] ternyata untuk ponsel yang ganti 3 bulan sekali. Jadi ongkos lifestyle jauh lebih banyak dari pada kebutuhan masa depan,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman Chinni menangani klien, merupakan hal yang sangat lumrah bahwa hari gajian sekaligus merupakan hari penghabisan penghasilan bulanan. Selajutnya, istilah cashless bagi kalangan masyarakat ini lebih tepat jika dibalik menjadi less cash.
Chinni melanjutkan, dampak dari gaya hidup semacam ini adalah tidak adanya keamanan finansial untuk masa depan. Ditambah lagi dengan fakta bahwa dengan inflasi, setiap tahun nilai uang mengalami penyusutan, harga-harga barang makin naik.
Maka dalam hal ini, personal finance berfungsi untuk menahan diri dari kebutuhan sekarang untuk keperluan yang lebih besar di masa depan.
Chinni melanjutkan, sebenarnya tidak ada pola porsi pengeluaran yang baku dalam penataan finansial personal, tetapi dia menyarankan porsi 50% gaji untuk kebutuhan pokok, 30% untuk gaya hidup, dan 20 persen untuk kebutuhan finansial, yakni menabung dan berinvestasi.
“Tentu saja kalau baru mau mulai, kalau Anda termasuk golongan gaji numpang lewat, mengalokasikan 20 persen itu berat. Bisa mulai dengan 5 persen sampai 10 persen dulu,” ujarnya.
Setelah mulai terbiasa menabung dan mengalokasikan penghasilan untuk investasi, selanjutnya naikkan porsinya menjadi 20 persen.
Menurutnya, posisi yang harus lebih dulu diubah adalah pola pikir terhadap uang dan kebutuhan itu sendiri. Cara pandang bahwa kebutuhan finansial di masa depan tidak bisa disulap dan perlu disiapkan sedini mungkin, perlu ditanamkan dalam diri.
Head of Mutual Fund Distribution Batavia Prosperindo Aset Manajemen Eri Kusnadi membenarkan bahwa tagihan yang bersifat konsumtif adalah penyebab utama gaji Anda tidak betah mengendap di rekening.
Eri menyarankan untuk menyusun rencana anggaran setiap bulan dan disiplin dalam mengatur pengeluaran. “Setelah membuat anggaran kok masih tidak sesuai, mungkin penganggarannya membuat pengeluaran yang terlalu besar, atau di tengah jalan Anda menjadi tidak disiplin atau ada impulsive buying yang tidak perlu,” ujarnya.
Eri melanjutkan, selain menahan laju pengeluaran gaya hidup, porsi menabung dan investasi diperlukan untuk melindungi nilai uang dan daya beli di masa depan. Sebagai investor, harus berpegang pada prinsip jangka panjang dan disiplin.
“Jangka pendek memang bergerak naik dan turun, sesuai dengan kondisi ekonomi, tetapi dalam jangka panjang kita akan lihat tren pertumbuhan. Tren ini yang akan memberikan hasilnya,” kata Eri.
DANA PENSIUN
Chinni menyebut hal yang juga biasanya luput dari perhatian anak muda adalah dana pensiun. Karena merasa masa pensiun masih terlampau jauh, per-siapan menjadi terabaikan.
Dia mengatakan, banyak orang yang baru menyiapkan dana pensiun pada saat 5 hingga 10 tahun menjelang pensiun. Padahal, alangkah lebih baik jika dana pensiun disiapkan sejak awal masa karier, sehingga mampu menopang biaya hidup di masa depan yang semakin tinggi.
Banyak pula perusahaan yang menyediakan dana pensiun bagi para karyawannya. Namun, hal itu tidaklah cukup karena instrumen yang biasanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut hanya memberikan return 5% hingga 6% per tahun. Jadi, perencanaan dana pensiun secara mandiri sangat diperlukan.
“Rata-rata dana pensiun perusahaan disimpan di instrumen semacam deposito pasar uang yang return-nya hanya 5 persen-6 persen per tahun, dengan inflasi yang makin lama makin tinggi, itu tidak akan cukup. Apalagi kalau kita berekspektasi hidup makin panjang, tentu biaya makin besar,” jelasnya.