Bisnis.com, JAKARTA — Analis menilai penurunan saham bank pelat merah dalam tiga bulan terakhir sejalan dengan perlambatan kinerja bank terkait hingga paruh kedua tahun ini.
Bisnis mencatat penurunan paling besar dialami oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) yakni - 23,71%, dan disusul oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) sebesar -22,67%.
Sementara itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) masing-masing mengalami penurunan -18,71% dan -12,58%. Sebelumnya, dalam 5 tahun terakhir harga saham keempat bank tersebut masih menunjukkan performa yang mumpuni.
VP Research Artha Sekuritas Frederik Rasali mengatakan bahwa secara umum hingga semester II/2019 ini perbankan masih memiliki tekanan dari sisi likuiditas yang per Juli 2019 data masih menunjukan loan to deposit ratio (LDR) pada 94,48% atau tidak banyak berubah dibandingkan dengan Juni 2019 yang berada di level 94,98% .
Artinya, untuk mendapatkan likuiditas bank harus mencari pendanaan nonkonvensional atau selain simpanan masyarakat. Pengetatan likuiditas membuat peningkatan cost of fund .
Hal itu, terlihat dari rasio margin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang masih cukup stagnan selama 3 bulan terakhir dari Juli 2019 berada di level 4,9% dengan kontributor terendah dari bank umum kelompok usaha (BUKU) III, yakni rerata NIM di level 3,98%.
Baca Juga
"Bearti untuk meningkatkan laba bersih, perbankan harus meningkatkan volume kredit karena NIM cukup rendah, sedangkan dengan kondisi likuiditas yang ketat, akan susah bagi perbankan untuk mencetak keuntungan. Selain itu kondisi global yang tidak menentu memberikan tekanan investasi saham di Indonesia dan perbankan merupakan saham yang memiliki kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia," katanya kepada Bisnis, Senin (14/10/2019).
Frederik mengemukakan dengan demikian jika ada dana asing keluar dari Indonesia, maka besar kemungkinan penjualan dari pemodal asing terjadi di saham perbankan.
Menurutnya, outlook saat ini perbankan sudah mendekati titik terendahnya terutama untuk BUKU IV, seperti BBNI dengan harga Rp6,900 menunjukan nilai buku sebesar 1,11x cukup rendah. Namun hal ini juga menjadi peluang bagi investor karena dapat membeli saat saham bank papan atas.
"Tentunya perbankan adalah cerminan dari kegiatan ekonomi Indonesia, selama kita percaya ekonomi Indonesia masih stabil dan terus bertumbuh maka bank kapitalisasi besar tentunya masih tetap bertumbuh," ujarnya.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Marutho mengatakan, secara umum tahun ini memang bukan tahun yang baik untuk saham. Hal ini sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG yang terkoreksi minus 2% secara tahunan (year on year/yoy).
"Kalau secara year-to-date memang masih ada kenaikan sekitar 2% - 3% juga tetapi dibandingkan dengan obligasi yang masih 10% dan stabil dalam pertumbuhan dua digit tentu tidak terlalu menggembirakan. Tahun ini memang tahun obligasi banyak yang lebih tertarik obligasi," katanya.
Ramdhan mengemukakan perkembangan dunia perbankan sendiri saat ini juga masih dalam kondisi yang melambat. Dalam hal dana pihak ketiga atau DPK saja, bank asing kini mulai agresif mengambil pasar dengan bekal modal yang cukup kuat.
Menurut Ramdhan, saat ini pada produk deposito saja, bank asing masih ada yang bertahan memberikan imbal hasil sekitar 6%-an. Sementara itu, BUKU IV bahkan masih kompetitif di kisaran 5%.
"Padahal dulu BUKU IV menguasai pasar, alhasil berimbas pada saham yang terus menurun seiring dengan pasar yang tidak tumbuh dan suku bunga acuan terus menurun," ujarnya.
Sisi lain, lanjut Ramdhan, dengan melambatnya fungsi intermediasi pada perbankan, peran sebagai manajemen portofolio untuk menjaga kinerja perseroan pun terpantau semakin aktif dilakukan. Hal ini terlihat dari Surat Utang Negara yang likuid dengan perbankan sebagai pemain besarnya.