Bisnis.com, JAKARTA - Proses meminang sebuah bank tak kalah sulitnya seperti meminang seorang wanita. Seperti calon mertua, negosiasi tarik ulur antar pemegang saham lama dan baru membuat prosesnya menjadi berlarut-larut. Bahkan, banyak peminang datang dan pergi akibat proses tarik ulur ini.
Hal ini, tampaknya terjadi pada proses pelepasan saham PT Bank Permata Tbk. yang berjalan sejak 2 tahun yang lalu.
Berdasarkan catatan Bisnis, proses akuisisi saham Bank Permata bermula sejak desas-desus pembelian oleh Grup Mayapada sejak 2017.
Namun, isu tersebut hilang begitu saja tanpa ada kepastian. Padahal, pada 2018, Standard Chartered Bank (SCB) telah mengirimkan sinyal kuat hendak menjual saham emiten berkode BNLI ini.
Awal tahun ini, giliran PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., yang dikabarkan hendak mengakuisisi BNLI. Dengan rasio kecukupan modal yang jauh lebih tinggi dari ketentuan OJK, Bank Mandiri disebut-sebut memiliki dana idle sekitar Rp30 triliun. Dana ini cukup untuk menjadikan Bank Mandiri pemegang saham pengendali.
Akan tetapi, sama seperti yang lain, kabar ini pun menguap begitu saja. Awal paruh kedua tahun ini, proses pendekatan kebali terjadi. Kali ini, bank dari Jepang dan Singapura disebut-sebut tengah memasang mata kepada BNLI.
Belakangan, Bank DBS juga dikabarkan hendak membeli saham BNLI. Kabar ini pun masih belum pasti dan hanya semakin menegaskan masih panjangnya proses pencarian jodoh bagi Bank Permata.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menyampaikan negosiasi akuisisi bank Permata memang tidak akan mudah, sebab setiap calon pembeli mengajukan syarat dan penawaran yang membuat pemilik saham lama berpikir cukup dalam.
Akan tetapi, proses pelepasan saham dari pemegang saham pengendali (PSP) saat ini adalah hal yang tak terelakkan karena aturan otoritas. “Standard Chartered kan punya dua entitas. Jadi, mereka memang harus lepas,” katanya, Minggu (14/10/2019).
Menurut perhitungan Hans, SCB tidak mendapatkan untung jika menjual dengan harga 1,5 kali sampai 2 kali dari nilai buku. Pasalnya, selama 15 tahun menjadi pemegang saham BNLI, SCB sudah menggelontorkan kurang lebih Rp9 triliun secara bertahap untuk akuisisi saham maupun setoran modal tambahan lewat rights issue.
Jika menghitung compund annual growth rate (CAGR), harga jual di kisaran itu hanya memberi SCB sekitar 3,6%. “Persentase keuntungan 3,6% bisa dibilang sangat kecil. Nilai itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan imbal hasil surat utang pemerintah yang sekitar 6%--8%.”
MASA SULIT
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyampaikan Bank Permata telah melewati masa sulitnya pada 2016 dan 2017. Perseroan mampu mengelola kredit-kredit bermasalah yang membuat neraca keuangannya jeblok menjadi positif kembali pada 2018.
Pada tahun ini, Bank Permata juga masih melanjutkan pertumbuhan positif tersebut. Menurutnya, kondisi tersebut sudah menjadi modal yang cukup kuat bagi para pemilik modal lebih untuk berinvestasi di BNLI.
Di samping itu, Piter menyampaikan perbankan di Indonesia mengalami keterbatasan likuiditas. Jika Bank Permata mendapat pemilik modal dari luar negeri, yang memiliki akses dana murah baik, maka kinerja bank tentunya akan semakin terdongkrak.
“Jika masalah likuiditas ini dapat terselesaikan maka kemampuan peningkatan fungsi intermediasinya akan lebih baik, sehingga potensi menghasilkan labanya juga semakin tinggi. Pastinya ini memberi keuntungan baik kepada pemegang saham,” ujarnya.