Bisnis.com, JAKARTA — Tingginya dominasi perusahaan pelat merah dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah dinilai kurang berdampak dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Daya ungkit proyek-proyek tersebut terhadap permintaan kredit perbankan pun tak signifikan pada tahun ini.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani menilai bahwa peran swasta sangat kecil dalam proyek-proyek infrastruktur.
Padahal, baik swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN) memiliki peran penting untuk menjaga laju roda ekonomi Tanah Air.
“Proyek-proyek [infrastrtuktur] itu jangan hanya dikuasai BUMN. Harus ada pemerataan ke swasta agar bisa membantu penguatan daya beli,” katanya kepada Bisnis pekan lalu.
Aviliani melanjutkan bahwa daya beli menjadi satu permasalahan yang ikut membuat pertumbuhan kredit perbankan melambat.
Rendahnya daya beli masyarakat membuat produktivitas pelaku usaha turun. Hal ini pada akhirnya memberikan dampak besar terhadap kebutuhan kredit.
Baca Juga
Dengan kondisi demikian, Aviliani menilai pembangunan infrastruktur pada tahun depan perlu dikurangi.
APBN lebih diperlukan untuk memberikan insentif yang dapat mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau mendongkrak daya beli masyarakat.
Hal tersebut diperlukan mengingat hingga dua tahun ke depan harga komoditas masih cenderung menurun. Sementara itu, Indonesia merupakan negara yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap komoditas.
Aviliani mengatakan bahwa Bank Indonesia telah memberikan sejumlah pelonggaran melalui pemangkasan suku bunga acuan dan relaksasi uang muka untuk kredit konsumsi. Namun, hal itu belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan kredit dua digit.
“Masalahnya itu ada di sektor riil. Jadi, itu yang perlu jadi perhatian,” katanya.
Sejak paruh kedua tahun ini Bank Indonesia telah memangkas suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bps). Hal ini pun mulai berimbas terhadap suku bunga kredit.
Berdasarkan data Bank Indonesia per September 2019 suku bunga kredit turun 6 bps menjadi 10,64% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan bulan pertama tahun ini, suku bunga kredit telah turun sebanyak 24 bps.
Namun, tren penurunan suku bunga kredit tidak memberikan stimulus terhadap permintaan pembiayaan.
Per September 2019, pertumbuhan kredit perbankan kembali melambat. Penyaluran kredit tercatat sebesar Rp5.5481,1 triliun atau naik 8,0% secara tahunan (year-on-year/yoy). Padahal, bulan sebelumnya fungsi intermediasi naik 8,7%.
Capaian September pun lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I dan II tahun ini. Secara berurutan, pada dua periode tersebut kredit naik 11,5% yoy dan 9,9% yoy.
Presiden Direktur PT Bank Maybank Indonesia Tbk. Taswin Zakaria mengatakan bahwa kurangnya keterlibatan sektor swasta terhadap pembangunan infrastruktur adalah satu isu yang cukup memprihatinkan.
“Investasi pemerintah di infrastruktur kurang melibatkan sektor swasta sehingga multiplier effect-nya ke ekonomi kurang,” kata Taswin.
Bank pun memperkirakan target pertumbuhan tahun ini sulit dicapai. Perusahaan memproyeksi menutup 2019 dengan perumbuhan kredit pada kisaran 5% yoy. Sebelumnya, bank sempat membidik kenaikan penyaluran dana sebesar 10% yoy.
Direktur Utama Bank Mayapada Hariyono Tjahharijadi juga menyampaikan hal serupa. Hanya saja, dia menyampaikan pertumbuhan ekonomi yang lemah juga mempengaruhi kinerja segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Artinya meskipun disediakan, kalau permintaan sektor riil kurang kuat juga tidak akan bisa mendongkrak kredit segmen lain juga,” jelasnya.