Bisnis.com, JAKARTA - Direktur PT Bank Central Asia Tbk. memproyeksikan likuiditas masih akan menjadi tantangan industri perbankan pada tahun depan.
Menurutnya, posisi rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) tahun depan tidak akan bergerak jauh dari posisi LDR bank saat ini yang tercatat sebesar 93,7%, yaitu sekitar 92%-95% pada 2020.
Jahja menjelaskan kecukupan likuiditas bank bergantung pada pertumbuhan penyaluran kredit. Pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang berdampak pada pelonggaran likuiditas perbankan akan cukup bila pertumbuhan kredit 2020 tidak dipatok terlalu tinggi.
Seperti diketahui, Bank Indonesia kembali menurunkan GWM 50 basis poins (bps) belum lama ini, mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2020. Dari pelonggaran GWM tersebut, bank mendapat tambahan likuiditas sebesar Rp26 triliun.
"[Likuiditas mengetat] tergantung kredit, jika growth 8%-10% maka masih cukup [menyalurkan kredit] dengan amunisi baru, yaitu GWM BI," katanya kepada Bisnis, Senin (25/11/2019).
Perseroan, kata Jahja, tidak berada dalam kondisi likuiditas yang ketat. Per September 2019, LDR BCA tercatat pada level yang sehat, yaitu sebesar 80,6%.
Dengan rasio LDR tersebut, Jahja mengatakan likuiditas perseroan sangat cukup jika perseroan mematok pertumbuhan kredit yang tinggi, lebih dari 15%, pada 2020.
Namun begitu, BCA tidak memasang target agresif tahun depan. Perseroan memperkirakan kredit BCA tumbuh sekitar 8% pada 2020, tidak berbeda jauh dengan target 2019, dengan mempertahankan LDR di level 81%-85%.
"Likuiditas BCA cukup kalau mau growth kredit lebih dari 15% kredit. Jadi bukan karena likuiditas BCA yang tumbuh 8%, tapi karena kemampuan pasar menyerap hanya segitu," jelas Jahja.
Seperti diketahui, penyaluran kredit BCA tercatat meningkat 10,9% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal III/2019. Di samping itu, pertumbuhan himpunan dana masyarakat juga dua digit, yakni sebesar 10,4% yoy menjadi Rp683,1 triliun.
Pertumbuhan positif dana pihak ketiga (DPK) BCA dikontribusi oleh pertumbuhan deposito yang tercatat meningkat 19,7% yoy menjadi Rp169,2 triliun.
Sementara porsi terbesar masih dikontribusikan oleh dana murah (current account saving account/CASA) sebesar 75,2%. CASA tercatat tumbuh 7,6% yoy menjadi Rp513,9 triliun ditopang oleh tingginya pertumbuhan jumlah transaksi, khususnya pada e-channels.
Jahja menuturkan, ke depan BCA akan tetap memacu pertumbuhan DPK dengan lebih fokus memacu jumlah transaksi melalui platform e-channel perseroan.