Bisnis.com, JAKARTA - Kemelut kondisi keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terjadi akibat satu produk, yakni saving plan atau JS Plan. Seperti apa produk tersebut dan bagaimana bisa menimbulkan masalah?
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menjelaskan bahwa produk JS Plan pertama kali diperkenalkan pada 2013. Melalui produk tersebut, Jiwasraya menawarkan proteksi selama lima tahun tetapi memiliki masa investasi satu tahun.
Artinya, setiap tahun terdapat klaim jatuh tempo yang harus dibayarkan, kecuali nasabah meminta perpanjangan polis atau roll over. Hexana menjabarkan bahwa setelah klaim dibayarkan, masa proteksi personal accident tetap berlangsung hingga tahun kelima.
Produk JS Plan dilabeli tarif mulai dari Rp100 juta hingga Rp5 miliar untuk setiap polisnya. Menurut Hexana, nasabah dapat membeli lebih dari satu polis sehingga bisa memiliki nilai polis di atas Rp5 miliar.
"Satu orang nasabah bisa memiliki lebih dari satu polis, bisa juga atas nama keluarganya yang lain," ujar Hexana kepada Bisnis, Jumat (20/12/2019).
Produk tersebut mulanya dipasarkan melalui kanal bancassurance, di mana terdapat delapan bank pemasar produk tersebut, yakni BRI, BTN, KEB Hana Bank Indonesia, DBS Indonesia, ANZ Indonesia, QNB Indonesia, Standard Chartered Bank, dan Bank Victoria International.
Baca Juga
Hexana menjelaskan bahwa mulanya produk itu sempat dipasarkan melalui kantor-kantor cabang Jiwasraya. Namun, manajemen kemudian menghentikan pemasaran di kantor cabang karena alasan tertentu.
JS Plan dapat dikatakan sebagai produk 'andalan' dari Jiwasraya, khususnya dalam kurun 2013–2017. Produk tersebut terus mencatatkan pertumbuhan premi hingga pada 2017 menjadi sumber premi terbesar dari Jiwasraya.
Pada 2015, perolehan premi JS Plan mencapai Rp5,15 triliun atau 50,3% dari total premi kala itu. Jumlahnya meningkat pada 2016 menjadi Rp12,57 triliun atau 69,5% dari total premi.
Pada 2017, premi JS Plan terus bertambah dan mencapai Rp16,54 triliun. Porsi premi produk tersebut mencapai 75,3% dari total premi Jiwasraya senilai Rp21,91 triliun.
Namun, pada 2018, perolehan premi JS Plan menyusut menjadi Rp5,46 triliun. Premi Jiwasraya secara keseluruhan pun menurun menjadi Rp10,67 triliun sehingga porsi produk JS Plan menjadi 51,1% dari total premi.
Lantas, apakah penurunan porsi tersebut yang menyebabkan kondisi keuangan Jiwasraya merosot? Nyatanya tidak. Dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Senin (16/12/2019), Hexana menjabarkan bahwa iming-iming imbal hasil tinggi yang menimbulkan masalah besar.
Dia menjabarkan bahwa melalui produk JS Plan, Jiwasraya menawarkan jaminan imbal hasil berkisar 9%–13% selama 2013–2018. Imbal hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga deposito FY2018 berkisar 5,2%–7,0% p.a, juga lebih besar dari pertumbuhan IHSG FY2018 yang negatif 2,3%.
"Kenyataannya [imbal hasil JS Plan] tidak pernah bisa di-cover oleh investasi. Imbal hasil yang dijanjikan itu efektifnya 13%, turun jadi 7%, kondisi pasar jauh lebih rendah dari itu [sehingga menyebabkan kerugian]," ujar Hexana.
Produk JS Plan mulai menunjukkan gejala masalah pada 2018, hingga akhirnya pada Oktober 2018 manajemen mengumumkan gagal bayar klaim JS Plan senilai Rp802 miliar. Pengumuman tersebut disampaikan oleh direksi kepada bank-bank pemasar.
"Pada Oktober 2018 Jiwasraya memutuskan untuk menghentikan penjualan produk JS Plan," ujar Hexana.
Klaim jatuh tempo tersebut terus membengkak, hingga pada akhir 2019 jumlahnya mencapai Rp12,4 triliun. Kondisi keuangan perseroan pun kian tertekan, terlihat dari risk based capital (RBC) yang menyentuh -802%.
Saat ini direksi bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengupayakan perbaikan kondisi perseroan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah pembentukan anak usaha Jiwasraya Putra. Menurut Hexana, pembentukan anak usaha masih dalam proses due diligence dengan delapan calon investor.
"Tentu itu tidak bisa [membayarkan klaim jatuh tempo akhir 2019], sumbernya [dana] dari corporate action. Makanya saya memohon maaf kepada seluruh nasabah, dari awal saya menyampaikan saya tidak bisa memastikan tanggalnya [pembayaran klaim] kapan karena ini semuanya dalam proses," ujar dia.
Satu produk tersebut kini menjadi salah satu penyebab munculnya kerugian negara hingga Rp13,7 triliun per September 2019. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin bahkan menyatakan bahwa nilai kerugian asli bisa lebih besar dari itu.
Dia pun menyatakan bahwa, selain iming-iming imbal hasil yang tinggi, terdapat pelanggaran prinsip tata kelola di tubuh Jiwasraya. Hal tersebut khususnya terjadi dalam pengelolaan dana nasabah yang diperoleh melalui produk saving plan.
Kini, sebanyak 17.403 pemegang polis menggantungkan asanya kepada seluruh pihak, baik manajemen Jiwasraya saat ini, Kementerian BUMN, OJK, dan pemerintah agar uang mereka dapat kembali.
Harapan cuan yang dijanjikan melalui produk JS Plan justru berujung lirih. Produknya kini telah berhenti dipasarkan, tetapi masalah yang ditimbulkannya terus bergulir, bahkan kian membesar. Semoga dapat segera diselesaikan.
"Kami bukan mengemis, toh ini memang uang kami yang harus kami terima," ujar salah seorang nasabah.