Bisnis.com, JAKARTA - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil angkat bicara mengenai perintah dari pusat untuk membantu penyelamatan PT Bank Banten Tbk. Caranya, menggabungkan usaha bank tersebut dengan PT Bank Jabar Banten Tbk. atau Bank BJB.
Menurut sumber yang mengetahui rencana itu, Ridwan Kamil tiba-tiba dipanggil ke Istana Negara pada Kamis (23/4/2020). Dia diminta langsung menandatangani komitmen untuk penggabungan usaha dalam bentuk Letter of Intent (LoI).
Hadir dalam acara itu Presiden RI Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, bersama Gubernur Banten Wahidin Halim, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), direksi Bank BJB, dan Bank Banten.
Ridwan Kamil membenarkan kabar tersebut. Pihaknya selaku pemegang saham pengendali Bank BJB diminta menyelamatkan Bank Banten. “Kami diminta pusat untuk menyelamatkan Bank Banten,” katanya pada Bisnis, Rabu (29/4/2020).
Akan tetapi, Ridwan Kamil tidak mengonfirmasi sejumlah pejabat yang hadir pada acara tersebut. Dia membenarkan bahwa Gubernur Banten Wahidin Halim selaku pemegang saham pengendali Bank Banten hadir meneken LoI.
Cerita soal Pemprov Banten dan Jabar ini memang unik. Hal itu bermula ketika keinginan Pemprov Banten untuk memiliki bank sendiri pada periode 2014-2015. Padahal kala itu dua provinsi sama-sama memiliki Bank Jabar Banten yang kemudian branding menjadi Bank BJB.
Baca Juga
Bahkan, setelah ‘pisah ranjang’dengan Pemprov Banten, Bank BJB akan ganti nama menjadi Bank Jabar—nama pertama kali sebelum Provinsi Banten ada—pada 2018.
Ganti nama itu akan dilakukan apabila saham milik Pemprov Banten dan pemerintah kabupaten/kota dilepas. Namun, rencana itu tampaknya bakal kandas karena kedua Pemprov akan melakukan reunifikasi.
Hal itu ditandai dengan ‘penyerahan mahar’ sebesar Rp1,7 triliun. Dana tersebut adalah anggaran pemerintah daerah yang dipindahkan dari Bank Banten ke Bank BJB.
Gubernur Banten Wahidin Halim sebelumnya telah mengonfirmasi ada pemindahan dana meskipun tidak menyebut besarannya. Dia merasa khawatir menempatkan dana di bank ‘miliknya’ karena sempat gagal bayar.
Dia menyampaikan, Bank Banten telah gagal bayar saat diminta mencairkan Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak ke kabupaten/kota di provinsi Banten pada 17 April 2020. Anggaran DBH Pajak yang akan dicairkan mencapai Rp181 miliar dan untuk dana bansos sebesar Rp709 miliar.
Hal tersebut yang mendasari Pemprov Banten untuk segera memindahkan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dari Bank Banten ke BJB. Tindakan ini, tuturnya, sebagai langkah cepat untuk memastikan ketersediaan anggaran saat dibutuhkan.
“Makanya yang terbayang oleh saya sebagai Gubernur adalah bagaimana nanti dana buat bantuan sosial, bagaimana nanti dana buat gaji pegawai, bagaimana dengan kas daerah,” katanya seperti dikutip dalam rilis, Sabtu (25/4/2020).
Karyawan Bank Banten tengan melayani nasabah di kantor cabang./Bisnis
Wahidin juga menyampaikan bahwa telah meminta semua pihak untuk menyelamatkan Bank Banten dan semua telah difasilitasi oleh OJK. "Termasuk upaya lain, bulan lalu saya menemui Direktur BJB Syariah agar bisa merger untuk membentuk bank syariah.”
Rencana merger itu sendiri telah mendapatkan lampu hijau OJK, meskipun tetap harus mengikuti proses yang berlaku. Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan bahwa rencana merger BJB dan Bank Banten tersebut telah dituangkan dalam LoI yang ditandatangani oleh dua kepala daerah.
"Dalam kerangka LoI tersebut Bank Banten dan Bank BJB melaksanakan kerja sama bisnis, termasuk dukungan Bank BJB terkait kebutuhan likuiditas Bank Banten," katanya melalui siaran pers, Kamis (23/4/2020).
KONDISI BANK BANTEN
Berdasarkan laporan keuangan dalam dua tahun terakhir Bank Banten mencatatkan kinerja negatif. Pada 2019, bank berkode saham BEKS itu mencatatkan rugi bersih Rp180,7 miliar. Sementara itu, pada 2018 perseroan rugi Rp131,07 miliar.
Kemampuan BEKS mendulang untung sulit dicapai. Bahkan sebelum dibeli Pemprov Banten. Perusahaan yang semula bernama Bank Ekesekutif itu dibeli dari Sandiaga Uno melalui PT Recapital Advisors.
Sandi membeli dari keluarga Widjaja pada 2010. Kemudian, Bank Eksekutif berubah nama menjadi Bank Pundi. Tak tahan mendulang rugi selama bertahun-tahun, Sandi dan Recapital menjual Bank Pundi ke Pemda Banten melalui PT Banten Global Development (BGD).
Kala itu, BGD merogoh kocek Rp619,49 miliar. Selanjutnya bank bersalin rupa menjadi Bank Banten dan beberapa kali melakukan penambahan modal.
Sejak awal bertransformasi pada 2016, BEKS belum pernah sekalipun mencetak laba. Kerugian terus membesar. Pada Desember 2016, bank membukukan rugi bersih senilai Rp405,1 miliar.
Pada 2019, modal inti perseroan pun terkikis dari Rp334,07 pada 2018 miliar menjadi Rp154,13 miliar pada 2019. Rasio permodalan Bank Banten pun tercatat mengalami penurunan ke level 9%.
Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk. Fahmi Bagus Mahesa (tengah), didampingi Wakil Direktur Utama Oliver Richard W. Mambu (kanan), dan Direktur Bambang Mulyo Atmojo, Kamis (22/3/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Sementara itu, pada pekan ini manajemen Bank Banten membuka kondisi keuangan perseroan. Hingga kuartal I/2020 Bank Banten masih membukukan kerugian senilai Rp31,86 miliar. Kerugian turun 42,9 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp55,79 miliar.
Direktur Utama Bank Banten Fahmi Bagus Mahesa mengatakan secara garis besar kondisi keuangan perusahaan sudah mulai membaik. Bahkan, aset tercatat bertumbuh dari senilai Rp5,251 triliun pada 2016 menjadi Rp8,097 triliun pada akhir 2019.
Pembukuan terbaru, aset Bank Banten pada kuartal I/2020 adalah senilai Rp8,1 triliun atau tumbuh 0,1 persen dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu (year to date/ytd). Secara tahunan, aset tercatat turun 3,1 persen (year on year/yoy).
Namun, dana pihak ketiga tercatat turun sebesar 15,4 persen yoy menjadi Rp5,431 triliun. Penurunan terjadi hampir pada semua jenis simpanan, kecuali tabungan yang tetap naik 15,1 persen.
Penyaluran kredit tercatat tumbuh tipis pada kuartal I/2020 sebesar 1,5 persen yoy. Penyumbang pertumbuhan kredit terbesar datang dari kredit konsumer dan UMKM yang masing-masing tumbuh 12,5 persen dan 29,2 persen yoy.
"Secara garis besar kami sudah mulai membaik, daripada saat 2016 dan 2017, kami sebetulnya terus meningkat dari aset Rp5 triliun menjadi Rp8 triliun," katanya dalam live conference, Kamis (30/4/2020).
Mengomentari pemindahan rekening umum kas daerah yang dilakukan oleh Pemprov Banten, menurut Fahmi, merupakan keputusan dari Gubernur Banten.
Bank Banten mengaku tidak mengetahui komunikasi yang terjadi antara Gubernur Banten dengan Bank BJB terkait pemindahan dana tersebut. "Kami kan manajemen hanya sebagai pengurus," katanya.
Sementara itu, mengenai keputusan merger dia mengklaim bukan keputusan secara tiba-tiba. Keputusan merger dipilih berkaitan dengan langkah penambahan modal perseroan. "Kami sudah bicara dengan pihak BJB terkait skema kerja sama ini, tidak ujug-ujug," katanya.
Adapun, Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi mengatakan pihaknya akan mempersiapkan tahapan yang perlu dilakukan oleh kedua belah pihak. “Sebagai langkah awal kami akan melakukan due diligence yang kami pastikan untuk dilakukan secara cermat,” ujar Yuddy Renaldi, Jumat (24/4/2020).
Divisi Corporate Secretary Bank BJB Widi Hartoto menambahkan perseroan tengah fokus untuk melakukan bantuan likuiditas melalui pengalihan aset secara bertahap. Hal itu untuk menjaga solvabilitas BEKS sebelum dimerger.
Dengan dilakukan merger yang dikompromikan oleh pihak Istana ini, setidaknya akan membantu menyelamatkan Bank Banten dan duit masyarakat, ketika digabung dengan Bank BJB. Namun perlu dihitung memang beban yang harus ditanggung oleh Bank BJB untuk menutupi kewajiban dari Bank Banten.