Bisnis.com, JAKARTA -- Kebangkrutan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terus terjadi setiap tahunnya, sering dengan tantangan ekonomi dan aturan yang ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, peran fraud justru sangat besar dalam kebangkrutan bank wong cilik ini.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah BPR saat ini mencapai mencapai 1.810 peserta atau sudah menurun sebanyak 102 peserta sejak 2005.
Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS Suwandi mengatakan peran tekanan ekonomi dan kemampuan daya saing memang sangat menentukan dalam keberlangsungan bisnis BPR. Namun, fraud memiliki peran yang sangat penting dalam membuat sebuah BPR mengalami kebangkrutan.
"Bahkan dalam penelitian bank-bank yang telah dilikuidasi, fraud ini terjadi dalam saat bank masih terefleksi dalam kondisi sehat dan baru terungkap ketika BPR itu bangkrut," katanya dalam Webminar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Selasa (4/8/2020).
Suwandi pun berharap pengawasan kepada BPR ke depan dilakukan tidak hanya fokus pada laporan keuangan. Tata kelola yang khususnya fokus pada prilaku dan profesionalisme dari pengurus perlu mendapat penekanan, sehingga resolusi BPR jauh lebih baik, yakni tak berujung pada likudiasi.
"Karena bagaimana pun, kita juga tahu laporan keuangan ini dapat dilakukan penyesuaian, GCG juga bukan sekadar laporan. Bank juga perlu tahu GCG adalah praktik yang memang perlu dilakukan," katanya.
Adapun, Suwandi memaparkan beberapa variable independen BPR gagal antara lain perangkapan jabatan pemegang saham dengan dewan direksi, ketidakpatuhan membayar premi, ketidaklengkapan membayar surat pernyataan direksi, serta ketidaklengkapan surat pernyataan dari pemegang saham.