Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kelas Menengah ke Atas Kencangkan Ikat Pinggang, Simpanan Bank Melonjak

Berdasarkan data LPS, nominal simpanan di bank umum mengalami kenaikan senilai Rp311 triliun atau tumbuh 5,12 persen per Juli 2020 secara ytd menjadi Rp6.388 triliun.
Petugas teller menata uang rupiah di salah satu cabang Bank Mandiri di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Petugas teller menata uang rupiah di salah satu cabang Bank Mandiri di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA -- Peningkatan nilai simpanan per Juli 2020 bersumber dari aktivitas masyarakat kelas menengah ke atas dan perusahaan besar yang cenderung melakukan penghematan.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), nominal simpanan di bank umum mengalami kenaikan senilai Rp311 triliun atau tumbuh 5,12 persen per Juli 2020 dibandingkan dengan posisi akhir 2019 (year to date/ytd) menjadi Rp6.388 triliun.

Kenaikan simpanan ini lebih tinggi dari posisi Juli 2019. Per Juli 2019, nilai simpanan di bank umum mencapai Rp5.901 triliun. Dari akhir 2018 hingga Juli 2019 simpanan tumbuh Rp197 triliun atau sekitar 3,45 persen ytd. Artinya, simpanan tumbuh semakin pesat selama pandemi Covid-19.

Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan peningkatan simpanan tersebut terutama terjadi masyarakat kelas menengah ke atas yang menahan konsumsi.

Biasanya, masyarakat kelas menengah ke atas memiliki dua komponen belanja yakni membeli barang tahan lama seperti cicilan rumah dan perjalanan jarak jauh atau berwisata. Adanya pandemi Covid-19 membuat masyarakat kelas menengah ke atas menahan belanja tersebut.

Selain itu, perusahaan-perusahaan besar juga tidak bisa beroperasi sehingga modal kerja disimpan.

"Ini karena mereka takut dan berhati-hati melakukan konsumsi, kelihatan dari data Bank Indonesia yakni pembelian barang-barang tahan lama baru beberapa saja yang pulih, seperti audio visual, sementara perlengkapan rumah tangga yang lain belum," katanya kepada Bisnis, Kamis (10/9/2020).

Menurutnya, secara keseluruhan masyarakat masih pesimistis melakukan konsumsi. Aktivitas menahan konsumsi tersebut bukan karena tidak ada uang, tetapi untuk disimpan sebagai upaya berjaga dari kemungkinan terjadinya resesi.

"Padahal kalau disimpan itu berarti perekonomian tidak bisa berputar karena uang ada di tabungan, bank juga sulit keluarkan kredit, jadi macet juga di situ. Ini paradox of thrift, biasanya hemat pangkal kaya, ini hemat pangkal resesi," sebutnya.

Sementara itu, rencana pengetatan pembatasan sosial skala besar (PSBB) di Jakarta dinilai belum tentu akan menjadikan pertumbuhan simpanan. Pasalnya, saat ini pertumbuhan ekonomi tidak lagi didominasi Jakarta, melainkan juga daerah lain seperti Surabaya, Semarang, maupun kota lainya.

"Jadi, itu lihat belum tentu juga [simpanan bakal tumbuh], kalau misalnya itu [PSBB] malah menimbulkan ketakutan, masyarakat bisa lebih konservatif lagi untuk melakukan penyimpanan," sebutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper