Bisnis.com, JAKARTA - Tren kasus perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) mencerminkan kondisi pelaku usaha yang terus tertekan seiring dengan potensi resesi selama masa pandemi.
Berdasarkan data sistem informasi penelusuran perkara (SIPP), kasus PKPU di 5 pengadilan niaga (PN Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar) mencapai 132 kasus pada kuartal kedua tahun ini. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal pertama tahun ini yang hanya berada di 102 kasus.
Bahkan, sudah ada 451 permohonan PKPU dan pailit sampai pertengahan September 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 36 perkara di antaranya dimohonkan perbankan.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Lando Simatupang mengatakan kondisi saat ini sangat sulit. Pelaku usaha juga tidak memiliki kemampuan lagi dalam menyelesaikan kewajibannya karena ekonomi yang terus tertekan akibat ekonomi.
"Ini merupakan tren yang wajar karena pandemi. Masih akan terus meningkat sampai tekanan ekonomi selesai dengan adanya vaksin," katanya, kepada Bisnis, Selasa (29/9/2020).
Khusus bank, Lando menyampaikan perlunya mengidentifikasi debitur-debitur potensial yang akan bermasalah dan menyiapkan semua dokumen yang dibutuhkan pada saat masuk ke PKPU. Strategi spesifik yang mampu disiapkan adalah meningkatkan peran special asset management seperti penagihan dan litigasi.
"Untuk AYDA (aset yang diambil alih) bank harus siap menerima "kerugian" karena terpaksa menjual agunan dengan harga yang lebih rendah. Kita tahu dengan pandemi semua properti dan juga mungkin mesin-mesin turun harganya. Berarti Bank perlu siapkan pencadangan atau ya harus menjual murah atau hair cut," katanya.