Bisnis.com, JAKARTA -- Bank syariah BUMN hasil merger berpeluang mengembangkan produk wholesale yang saat ini layanannya kurang berkembang di industri perbankan syariah Indonesia.
Ketua Tim Project Management Office yang sekaligus merupakan Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Hery Gunardi mengatakan, berkaca dari pengalaman, masing-masing bank syariah milik BUMN memiliki produk ritel dan konsumer yang telah berkembang dengan baik, termasuk di dalamnya gadai emas.
Hanya saja, di sisi wholesale seperti global sukuk, pengembangan produk tersebut masih tertinggal. Padahal, pasar cukup potensial dan peluang issuer juga dapat dilakukan oleh BUMN besar.
"Bank ini [nanti] punya kemampuan issuing seperti produk ijarah, dijual di Middle East, dan akan menjadi salah satu tumpuan bank baru ini," katanya dalam Press Conference mengenai CMA Signing, Selasa (13/10/2020).
Menurutnya, potensi untuk terus bertumbuh pada perbankan syariah cukup besar. Apalagi, compounding annual growth rate (CAGR) perbankan syariah bisa mencapai 15 persen hingga 17 persen per tahun.
"Kami optimistis bisa jadi bank syariah besar dengan potensi pasar yang luas, dari sisi pendanaan dan pembiayaan bisa tumbuh," sebutnya.
Hery menegaskan proses merger tidaklah mudah. Berkaca dari Bank Mandiri yang butuh waktu satu tahun saat melakukan merger pada 1999 sampai 2000. Begitu juga dengan merger tiga bank syariah milik BUMN telah dimulai sejak Maret 2020 yang ditargetkan rampung pada Februari 2021.
Persiapan merger banyak dibantu oleh konsultan dan adivisor dengan sejumlah persiapan seperti produk mapping, footprint cabang seprti jumlah cabang yang akan direlokasi, dan teknologi yang disatukan dengan melihat mana yang paling diuntungkan dan besar kapasitasnya.
"Ini juga nanti satu tahun, setelah legal merger, setahun berikutnya lebih ke integrasi. Semua persiapan yang kami sampaikan, footprint cabang, produk teknologi, human resources, budaya baru semua disiapakan dari Maret 2020 sampai Februari 2021," sebutnya.