Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Bhima Yudhistira menilai bahwa pemerintah harus menyusun regulasi yang lebih sederhana untuk mendukung pertumbuhan industri asuransi di era digital, khususnya insurtech.
Hal tersebut disampaikan Bhima dalam dalam webinar Strategi Sektor Keuangan Non Bank Dalam Dorong Pertumbuhan Ekonomi melalui Teknologi yang digelar Bisnis, Selasa (27/10/2020). Dia menilai bahwa regulasi teknologi finansial (fintech) yang juga mencakup insurtech saat ini masih rumit.
Dia mencatat bahwa setidaknya terdapat 14 Kementerian dan Lembaga (KL) yang memiliki regulasi terkait insurtech, di antaranya terdiri dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Dalam Negeri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Kekuasaan Kehakiman.
"Sekarang yang menjadi perhatian konsumen terkait masalah data, sementara pihak industri perlu kepastian data, bagiamana bisa diolah untuk kepentingan perusahaannya sendiri untuk menemukan produk yang lebih tepat. Regulasi saat ini tumpang tindih," ujar Bhima.
Dia melihat bahwa perkara regulasi ini berada di atas kewenangan OJK, selaku pengawas asuransi dan fintech, sehingga perlu terdapat andil pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah pusat pun harus mendorong terbitnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang sampai saat ini 'menyangkut' di Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Menurut Bhima, keberadaan regulasi yang ringkas dapat mendukung pertumbuhan industri insurtech. Saat ini, menurutnya, industri asuransi khususnya pemain baru kerap dibebani oleh tingginya biaya pengurusan izin saat menyentuh ranah insurtech.
Baca Juga
"Perlu dibentuk satu atap single entry [terkait data], sehingga pelaku insurtech mau bergabung ke satu ekosistem izinnya bisa lebih murah, karena tidak semua dapat diatur oleh OJK," ujar Bhima.
Dia pun menjabarkan bahwa insurtech dan asuransi berbasis digital memiliki potensi besar untuk berkembang, terlebih saat tekanan ekonomi mulai mereda dan daya beli masyarakat sudah pulih. Saat ini pun masyarakat sebenarnya masih memiliki kemampuan untuk membeli asuransi.
Bhima mengacu ke data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Juni 2020, bahwa jumlah simpanan di atas Rp5 miliar tercatat mencapai Rp3.012 triliun atau tumbuh 7,3% (year-to-date/ytd). Hal tersebut menunjukkan kelas ekonomi atas justru menyimpan uangnya di bank atau menjaga cash.
Kondisinya memang berbeda dengan segmen ekonomi menengah ke bawah dengan kategori simpanan di bawah Rp200 juta, yang jumlah simpanannya menurun. Menurut Bhima, hal tersebut menunjukkan tekanan ekonomi kepada masyarakat bawah, tetapi terdapat peluang bisnis bagi segmen atas.
"Data menunjukkan bahwa kelas menengah produktif dan kelas atas memiliki kemampuan belanja, tinggal perusahaan asuransi berkompetisi untuk menyusun strategi, meningkatkan pelayanan, menunggu momentum [agar kelas atas belanja asuransi]," ujarnya.
Kondisi itu menurutnya membuat perusahaan-perusahaan asuransi perlu mempertimbangkan fokus pemasaran ke segmen atas saat ini. Namun, selain itu, industri pun perlu mengoptimalkan teknologi untuk menjangkau masyarakat kelas bawah yang sangat butuh proteksi.