Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta mempercepat belanja sehingga menjadi penggerak permintaan kredit pada akhir 2020 dan awal 2021. Sejumlah langkah, mulai dari pemberian insentif hingga bekerja sama dengan badan usaha dapat menjadi pilihan.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani dalam diskusi daring Manfaat Perpanjangan Relaksasi Restrukturisasi Kredit Bagi Pemulihan Ekonomi, Jumat (20/11/2020).
Aviliani menjelaskan, meskipun pertumbuhan negatif kredit mulai melambat jelang akhir tahun 2020, laju ke arah positif juga belum dapat ditingkatkan secara signifikan. Apalagi, anggaran stimulus pemerintah untuk sejumlah sektor seperti infrastruktur juga baru dapat dilaksanakan pada 2021 mendatang.
“Sebaiknya dipersiapkan saja untuk 2021 agar di bulan Januari ada pertumbuhan kredit yang digerakkan oleh pemerintah lebih dulu, karena nantinya multiplier effect-nya akan lebih besar,” jelasnya.
Dia mencontohkan, melalui proyek pembangunan jalan tol, pemerintah dapat menjalankan skema Public-Private Partnership (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah – Badan Usaha (KPBU). Hal ini dapat menimbulkan efek positif bagi sektor-sektor terkait lainnya karena kehadiran pemerintah dalam memberi jaminan terhadap kredit.
Selain itu, pemerintah juga dapat meningkatkan upayanya dalam membeli produk-produk domestik. Hal ini diyakini dapat memacu perekonomian Indonesia yang akan berdampak pada kenaikan permintaan kredit yang dilakukan masyarakat atau sektor usaha.
Baca Juga
“Pemerintah juga dapat memberikan insentif terhadap beberapa produk tertentu untuk menarik minat masyarakat untuk membelinya. Pada akhirnya, yang diharapkan adalah multiplier effect yang ditimbulkan dari kehadiran negara,” jelasnya.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk memperpanjang masa relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2022 dari semula akan berakhir pada Maret 2021.
Hal tersebut tercantum dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso menjelaskan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini terbukti dapat menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dari tekanan ekonomi akibat dampak pandemi Covid–19.
Wimboh mengatakan, perpanjangan POJK 11/2020 mengenai restrukturisasi hingga 2022 akan memberikan ruang lebih leluasa bagi bank untuk menjaga laporan keuangan dan debitur dalam mengatur cash flow. Perpanjangan restrukturisasi ini pun dinilai akan diikuti dengan pemulihan ekonomi yang terus akan meningkat progressnya.
Perpanjangan POJK tersebut menekankan pada penilaian kemampuan dan prospek usaha debitur yang berpotensi mendapatkan perpanjangan restrukturisasi. Perbankan diminta melakukan penilaian kepada semua debitur yang akan mendapatkan perpanjangan.
"Mengingat masih dibutuhkannya kebijakan lanjutan, POJK 11/2020 punya peran penting untuk berikan ruang leluasa," katanya dalam Konferensi Pers Perkembangan Kebijakan dan Kondisi Terkini Sektor Jasa Keuangan beberapa pekan lalu.
Sementara itu, Realisasi restrukturisasi kredit perbankan hingga 5 Oktober 2020 telah mencapai Rp914,65 triliun yang mencakup 7,53 juta debitur.
Secara rinci, restrukturisasi tersebut terdiri atas 5,88 juta debitur UMKM dengan nilai Rp361,98 triliun dan 1,65 juta debitur non-UMKM dengan nilai Rp552,69 triliun.