Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi mengabulkan sejumlah tuntutan Badan Perwakilan Anggota atau BPA Asuransi Jiwa Bersama atau AJB Bumiputera 1912 dalam uji materiil Undang-Undang 40/2014 tentang Perasuransian.
Putusan itu disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam Sidang Putusan MK pada Kamis (14/1/2021). Hakim mengabulkan sejumlah permohonan dari Badan Perwakilan Anggota (BPA) Bumiputera selaku pemohon dan memutuskan dua amar putusan.
Putusan pertama, MK mengabulkan permohonan para pemohon yang terdiri dari tiga poin, yakni menyatakan bahwa frasa "diatur dalam Peraturan Pemerintah" dalam pasal 6 ayat (3) Undang-Undang (UU) 40/2014 tentang Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian, dalam poin kedua, MK menyatakan bahwa frasa tersebut harus diubah menjadi diatur dengan UU, sehingga bunyinya menjadi ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan UU. Oleh karena itu, UU tentang Asuransi Usaha Bersama pun harus segera dibuat.
"Memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] dan Presiden untuk menyelesaikan UU tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan," ujar Anwar dalam persidangan yang dikutip Bisnis pada Kamis (14/1/2021).
MK menilai bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan judicial review UU Perasuransian. Permohonan yang disampaikan pun dinilai beralasan menurut hukum.
Baca Juga
Terdapat delapan orang pemohon dalam gugatan tersebut, yang semuanya merupakan bagian dari BPA Bumiputera, yakni Nurhasanah selaku Ketua BPA, Ibnu Hajar, Maryono, Achmad Jazidie, mendiang Habel Melkias Suwae, Gede Sri Darma, Septina Primawati, dan Khoerul Huda.
Kedelapan orang itu menunjuk Zul Armain Aziz & Associates selaku pengacara, yang mendaftarkan uji materiil kepada MK pada Rabu (15/4/2020). Setelah sepuluh bulan proses persidangan, gugatan mereka menemukan hasil, meskipun tidak semuanya dikabulkan.
BPA Bumiputera mengajukan pengujian Pasal 6 Ayat (3) UU 40/2014, khususnya terkait ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama. Pemohon meminta pembatalan karena UU Perasuransian tersebut mengatur badan hukum usaha bersama dalam PP.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Bisnis, pemohon menilai poin UU Perasuransian tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 32/PPU-IX/2013 tentang Pengujian UU 2/1992 tentang Usaha Perasuransian. UU 2/1992 tersebut mengatur bahwa regulasi terkait bentuk usaha bersama diatur lebih lanjut oleh UU, paling lambat dua tahun enam bulan sejak putusan MK diucapkan pada 3 April 2014.
"Keberadaan Putusan MK Nomor 32/PPU-IX/2013 ternyata tidak segera dtindaklanjuti oleh pembentuk UU, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] dan Presiden. Malah pada 17 Oktober 2014, pembentuk UU ketka mengundangkan UU 40/2014 mengubah bentuk peraturan mengenai bentuk usaha bersama dari diatur lebih lanjut dengan UU menjadi diatur dalam PP," tertulis dalam salinan surat permohonan yang diperoleh Bisnis.
Pemohon menilai bahwa substansi PP 87/2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama bertolak belakang dengan isi Anggaran Dasar (AD) Bumiputera. Beberapa poin di antaranya adalah penggantian istilah BPA menjadi Rapat Umum Anggota (RUA).
Selain itu, BPA pun menilai bahwa kebijakan pemerintah yang melarang anggota RUA merangkap anggota atau pengurus partai politik, calon atau anggota legislatif, calon kepala atau wakil kepala daerah, dan kepala atau wakil kepala daerah tidak sesuai dengan AD Bumiputera.
"Ini akan mengubah total apa yang selama ini terjadi, para Anggota BPA Bumiputera diisi oleh anggota atau pengurus partai atau anggota legislatif," tertulis dalam surat tersebut.
Selain itu, pemohon pun menilai bahwa PP 87/2019 mengatur tata cara penunjukan atau pemilihan direksi dan komisaris, syarat, tugas, serta tanggung jawabnya. Menurut pemohon, aturan tersebut mirip dengan sistem asuransi berbentuk perseroan terbatas (PT), terlebih di dalam Pasal 99 PP tersebut Bumiputera dapat melakukan perubahan bentuk menjadi PT atau koperasi.
Para pemohon pun meminta agar majelis hakim MK mengabulkan permohonannya, yakni menyatakan bahwa frasa "diatur dalam PP" dalam Pasal 6 Ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945, menyatakan bahwa frasa itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Permohonannya pun dikabulkan.