Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan bahwa masih terdapat sejumlah masalah dalam penyelenggaran program jaminan sosial ketenagakerjaan yang perlu segera diselesaikan.
Ida menjabarkan dalam Rapat Kerja Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa penyelenggaraan program jaminan sosial ketenagakerjaan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan terus berkembang. Namun, terdapat sejumlah kendala yang harus diselesaikan.
Masalah pertama berkaitan dengan cakupan kepesertaan. Menurutnya, pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan atau BP JAMSOSTEK harus dapat melakukan perluasan cakupan kepesertaan semesta untuk semua segmen.
Baca Juga : Mayoritas Direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan Gugur Saat Seleksi, Ini Daftar Calonnya |
---|
Hingga Desember 2020, jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan tercatat sebanyak 50,72 juta atau berkurang dibandingkan dengan 2019 yang sebanyak 55,2 juta. Jumlahnya baru mencakup sekitar 36,6 persen dari total angkatan kerja per Agustus 2020 sebanyak 138,22 juta orang.
Ida menjabarkan bahwa masalah kedua terkait dengan penyelenggaraan tiga program jaminan sosial. Kementerian Ketenagakerjaan menemukan banyaknya manfaat penyakit akibat kerja (PAK) dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang tidak terbayar karena bersentuhan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Lalu, terdapat banyak penarikan lebih awal atas manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT). Penarikan itu memang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) 19/2015, tetapi implementasinya membuat kondisi proteksi para pekerja menjadi rentan.
Adapun, progam Jaminan Pensiun (JP) menghadapi masalah sangat kecilnya manfaat dan tidak adanya peta jalan untuk menaikkan iuran JP menuju 8 persen. Terdapat pula irisan hukum dengan Undang-Undang 11/1992 yang membuat perusahaan pelaksana program dana pensiun beranggapan bahwa program JP tidak bersifat wajib.
"Ketiga terkait pengembangan program. Harus mengembangkan program jaminan sosial sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi International Labor Organization [ILO] 102," ujar Ida dalam rapat tersebut, Senin (18/1/2021).
Menaker pun menyoroti berbagai regulasi yang masih bertabrakan, sehingga masalah keempat terkait dengan harmonisasi regulasi jaminan sosial. Harmonisasi itu pun perlu memperhatikan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait jaminan sosial.
Masalah kelima yakni perlunya penguatan kelembagaan pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial. Menaker menilai bahwa pengawasan BPJS Ketenagakerjaan dapat ditingkatkan demi pelaksanaan program jaminan sosial yang lebih mantap.
"Keenam, transformasi program yang diselenggarakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri," ujar Ida.
Menaker pun merekomendasikan agar transformasi program sejenis dari Taspen dan Asabri ke BP JAMSOSTEK dapat segera dilakukan. Undang-Undang (UU) 24/2011 tentang BPJS mengatur bahwa pengalihan program itu dapat dilakukan paling lambat 2029 atau delapan tahun ke depan.