Bisnis.com, JAKARTA — Tersiar informasi bahwa Kejaksaan Agung memeriksa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan karena adanya unrealized loss investasi. Nilai itu terus berubah mengikuti pergerakan harga saham.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa saat ini beredar informasi penyidikan Kejaksaan Agung terhadap BPJS Ketenagakerjaan didasari oleh adanya unrealized loss investasi dari pengelolaan dana jaminan sosial. Namun, belum terdapat penjelasan lebih rinci dari Korps Adhyaksa.
Timboel membenarkan bahwa memang terdapat unrealized loss dari BPJS Ketenagakerjaan, khususnya dari investasi di pasar modal yang kinerjanya tertekan selama pandemi Covid-19. Namun, menurutnya, kondisi unrealized loss tidak serta merta menjadi suatu tindak pidana.
"Penyidikan harus dihormati sebagai proses, tapi perlu ada kejelasan ini arahnya mau ke mana, apa yang diangkat sebagai pidana. Kalau unrealized loss diangkat sebagai pidana presedennya akan buruk ke depan, lalu khawatirnya tidak ada penempatan di instrumen seperti saham lagi," ujar Timboel kepada Bisnis, Senin (26/1/2021).
Timboel menjabarkan bahwa pihaknya memperoleh data, nilai unrealized loss BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2020 sebesar Rp24 triliun. Namun, nilainya telah menurun pada 14 Januari 2021 menjadi Rp13 triliun seiring pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG).
Adapun, berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, nilai unrealized loss BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2019 berkisar Rp13 triliun–Rp14 triliun. Catatan unrealized loss terbesar terjadi dalam kurun Agustus–September 2020 yang mencapai sekitar Rp40 triliun.
"Kalau unrealized loss dipidanakan direksi ke depan mungkin tidak lagi menyimpan di saham, direksi sebelumnya dipidana. Misalnya, catatan kami, BPJS Ketenagakerjaan membeli saham Garuda 2012, lalu ternyata dia keluar dari LQ45, enggak dijual karena enggak ada cutloss, kalau itu dipidanakan kan enggak masuk akal," ujar Timboel.
Berdasarkan catatan BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2020, sebanyak 64 persen investasi ditempatkan di surat utang, 17 persen di saham, 10 persen deposito, 8 persen reksadana, dan 1 persen investasi langsung. Artinya terdapat sekitar 25 persen dana yang berada di pasar modal, melalui saham dan reksadana.
Total dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan pada awal 2021 adalah sebesar Rp494,06 triliun, maka nilai investasinya di saham berkisar Rp84 triliun dan penempatan di reksadana sekitar Rp39 triliun.
"Kita tidak tahu apakah Februari 2021 akan ada perbaikan IHSG lagi atau gimana, kalau saham-saham kembali normal kan unrealized loss akan berkurang. Kalau dipaksakan sebagai pidana dampaknya bisa meluas," ujar Timboel.
Meskipun begitu, BPJS Watch mendukung proses penyidikan jika memang terdapat upaya oknum yang memperkaya diri melalui pengelolaan investasi. Namun, hal tersebut harus disampaikan dengan jelas oleh Kejaksaan Agung karena dana BPJS Ketenagakerjaan menyangkut hajat hidup para pekerja.
"Arah ke depannya akan dipengaruhi oleh sikap Kejaksaan [Agung] saat ini," ujar Timboel.