Bisnis.com, JAKARTA -- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. memastikan strategi hapus buku kredit yang dilakukan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan ketentuan yang berlaku.
Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto menyampaikan kategori kredit yang dapat dihapus buku dilakukan dengan selektif dan dipilih yang telah memenuhi syarat. Di antaranya kredit dengan kolektibilitas macet dan sudah terbentuk cadangan 100 persen dan diprioritaskan aging atau umur macet tertua.
Selain itu, pemilihan kredit yang dihapus buku juga mempertimbangkan prestasi recovery, sehingga dapat menjadi stimulus untuk meningkatkan recovery rate.
"Kredit yang telah dilakukan restrukturisasi tentu akan di-review kembali, apabila sudah downgrade dan memenuhi syarat untuk dilakukan hapus buku, maka dimungkinkan untuk dihapus buku. Namun, tetap akan konservatif," sebutnya, Jumat (5/2/2021).
Aestika menyampaikan kondisi ekonomi tahun ini pun akan lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Perseroan berharap kualitas kredit membaik diikuti dengan permintaan kredit lebih agresif khsusunya dari debitur UMKM.
Direktur Utama BRI Sunarso sebelumnya memproyeksi sebesar 2,5 persen dari total kredit yang direstrukturisasi.
Adapun, realisasi restrukturisasi kredit di BRI dari 15 Maret 2020 hingga 28 September 2020 adalah sebanyak 2,95 juta debitur dengan total baki debet senilai Rp191,5 triliun.
Restrukturisasi kredit tersebut terdiri dari kredit mikro Rp65,1 triliun, KUR Rp25,2 triliun, ritel Rp76,5 triliun, konsumer Rp10,6 triliun, dan korporasi 14,1 triliun.
Sunarso mencontohkan ada empat skema restrukturisasi kredit segmen mikro. Pertama, penurunan bunga dan berikan perpanjangan pembayaran kredit. Kedua, penundaan pokok dan bunga selama enam bulan.
Ketiga, penundaan bunga 6 bulan dan pembayaran pokok 12 bulan untuk omset usaha yang turun hingga 75 persen. Keempat, usaha dengan penurunan omset di atas 75 persen mendapatkan penundaan pokok dan bunga selama 12 bulan.
Dari skema tersebut, yang paling banyak kemungkinan akan jatuh adalah kelompok restrukturisasi selama enam bulan. Dari kelompok tersebut, diproyeksi ada 97,5 persen debitur yang masih bisa pulih, tetapi sisanya jatuh adalah sebanyak 2,5 persen dan berakhir menjadi rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Hanya saja, proyeksi ini tidak berlaku jika lockdown diterapkan. Namun, semua kemungkinan masih dapat terjadi. Apalagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memastikan kemungkinan adanya perpanjangan restrukturisasi.