Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setahun Aturan Sita Jaminan Fidusia, Bagaimana Dampak ke Bisnis Leasing?

Seperti diketahui, pengujian UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia oleh MK ini memunculkan putusan MK No 18/PUU-XVII/2019, yang akhirnya mempersyaratkan mekanisme baru dalam proses eksekusi.
Multifinance/Istimewa
Multifinance/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Sudah setahun sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perubahan tata cara eksekusi objek jaminan fidusia. Apa dampak yang dirasakan lembaga jasa keuangan, terutama perusahaan pembiayaan (PP) atau multifinance?

Seperti diketahui, pengujian UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia oleh MK ini memunculkan putusan MK No 18/PUU-XVII/2019, yang akhirnya mempersyaratkan mekanisme baru dalam proses eksekusi.

Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan mengungkap beberapa dampak keputusan ini terhadap perusahaan pembiayaan.

Adapun, PP menjadi lembaga keuangan paling identik dengan jaminan fidusia karena layanannya yang didominasi pembiayaan motor dan mobil.

Pertama, leasing akan lebih selektif. Indikator penilaian untuk konsumen selaku calon debitur ke depan, lebih banyak yang akan dianggap berisiko tinggi ketimbang sebelumnya.

Tantangan selanjutnya, yakni bagaimana leasing menghadapi klausul bahwa debitur berkenan menyerahkan jaminan fidusia secara sukarela ketika terjadi wanprestasi, yang tentunya akan sulit dibuktikan.

"Dari sisi PP sudah dapat dipastikan bahwa memang ada kecenderungan dengan adanya putusan ini, NPF [nonperforming financing] akan naik, karena tidak langsung bisa segera dieksekusi," ujarnya dalam diskusi virtual bersama Fakultas Hukum UGM, Rabu (10/2/2021).

Selanjutnya, biaya eksekusi naik karena harus melalui proses peradilan, tidak langsung bisa dieksekusi kolektor, dan lebih memakan waktu lebih lama ketimbang sebelumnya.

"Jadi kebetulan 2020, industri pembiayaan terkena double effect. Masih ada dua pendapat yang belum fix soal ini, ditambah ada dampak pandemi yang membuat penagihan secara langsung dan fisik itu juga sulit," tambahnya.

Bambang mengungkap OJK memproyeksi akan ada beberapa langkah yang akan digelar oleh suatu perusahaan untuk menanggapi fenomena ini.

Pertama, karena putusan ini, produk jaminan fidusia ke depan cenderung 'tidak menarik'. Apalagi turut ditopang kondisi suku bunga, makin sepi nasabah, dan akhirnya memicu peningkatan uang muka atau down payment (DP) untuk mengurangi risiko.

"Pilihannya dua, tetap menggunakan fidusia, atau tidak menggunakan fidusia dengan cara memilih asuransi kredit, atau asuransi atas objek pembiayaan. Nah, yang tetap pakai fidusia, perjanjian pembiayaan harus merumuskan detil soal 'cidera janji'," tambahnya.

Oleh sebab itu, Bambang berharap ke depan proses peradilan terkait hal ini menjadi lebih sederhana, cepat, dan biaya ringan, demi meminimalkan dampak putusan terhadap kinerja bisnis industri pembiayaan.

Adapun, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan lebih lanjut terkait kondisi di lapangan.

Menurutnya, kesalahpahaman atau 'gesekan' biasanya terjadi dengan debitur yang masih memiliki barang, sedikit terlambat mencicil, dan merasa telah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.

Namun, Suwandi pun mengungkap ini pun barangkali hanya sekitar satu sampai tiga persen saja dari seluruh kontak pembiayaan di industri.

"Berapa banyak sih, pengaduan? Dalam keputusan MK dikatakan banyak, 2017 ada 57 debitur yang mengadu, 2018 ada 24 yang mengadu. Padahal jumlah debitur kita itu sudah sampai 20 sampai dengan 23 juta," ungkapnya.

Suwandi menekankan apabila ada kolektor yang berlaku tidak sopan atau mengintimidasi debitur, justru AFPI bisa mencabut sertifikasi agar mereka tidak bisa lagi bekerja di lapangan.

Maka perlu dipahami, bagi leasing, eksekusi di lapangan penekanannya justru lebih identik pada jenis kasus di mana debitur ada, tapi barang sudah tidak ada, atau sebaliknya. Terlebih, apabila keduanya sudah tidak tahu di mana keberadaannya.

"Eksekusi itu upaya paksa tentu, bukan suatu sukarela. Karena kalau kita sudah masuk eksekusi, itu berarti debitur kita sudah tidak tahu lagi mau diupayakan seperti apa, karena tak mau diajak restrukturisasi, reschedule, bagaimana kita mau membantu mereka? Apalagi kalau mereka lari," jelasnya.

Terakhir, Asisten Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Edy Wibowo menceritakan latar belakang munculnya keputusan ini.

Ceritanya, salah satu pemohon gugatan ke MK, merupakan seorang debitur yang memang terlambat membayar cicilan mobilnya. Ketika pihak leasing dan kolektor datang ke rumah, debitur sedang tidak berada di rumah, namun barang tampak masih ada.

"Oleh debt collector, pintu rumah si debitur ini digembok dari luar. Sehingga, beberapa hari kemudian ketika debitur pulang, dia tidak bisa masuk rumah, termasuk ya, mengeluarkan mobilnya. Itu ceritanya sampai kemudian ada perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta dan yang bersangkutan mengajukan gugatan ke MK," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper