Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Digitalisasi Asuransi, Ketidaksetaraan Regulasi Masih Membayangi

Digitalisasi asuransi dinilai masih dapat lebih dioptimalkan, salah satunya terkait penjualan produk unit-linked melalui sarana digital.
Unit Linked. /Ilustrasi
Unit Linked. /Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan digitalisasi bagi industri asuransi dinilai belum sejajar dengan kebijakan lain di sektor jasa keuangan, seperti pasar modal dan perbankan.

Digitalisasi asuransi dinilai masih dapat lebih dioptimalkan, salah satunya terkait penjualan produk unit-linked melalui sarana digital.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menjelaskan bahwa pihaknya terus mengupayakan penerapan secara permanen terkait penjualan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit-linked melalui sarana digital.

Seperti diketahui, sejak Mei 2020 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi bagi perusahaan asuransi jiwa untuk bisa menjual unit-linked secara digital. Namun, kebijakan itu hanya berlaku selama masa kedaruratan pandemi Covid-19.

Togar menilai bahwa kebijakan itu harus diterapkan secara permanen, bukan hanya saat pandemi Covid-19. Menurutnya terdapat dua alasan utama penerapan secara permanen harus dilakukan, yakni sebagai implementasi digitalisasi dan dapat mendorong kinerja industri.

"Ketua OJK sendiri bicara industri keuangan sudah digital, di industri keuangan ini apalagi yang enggak digital, semua sudah. Kenapa terkait unit-linked harus [ada pembatasan] tertentu?" ujar Togar kepada Bisnis, Senin (15/3/2021).

Dia mencontohkan praktik di pasar modal, yakni seluruh proses pembuatan rekening, jual beli saham, hingga pencairan dana dapat dilakukan sepenuhnya secara digital. Begitu pun di perbankan, digitalisasi semakin gencar termasuk dengan adanya pengembangan bank digital.

Togar pun menilai bahwa jika industri asuransi jiwa masih menghadapi pembatasan dalam digitalisasi, terdapat kemungkinan asuransi semakin tertinggal. Hal itu menjadi kekhawatirannya karena penetrasi asuransi di Indonesia rendah dan tergolong stagnan.

"Harusnya tidak ada perbedaan, seharusnya semua same level playing field," ujarnya.

Dia menilai bahwa pembatasan dalam digitalisasi bukan merupakan langkah yang tepat. Otoritas bersama industri justru harus bahu membahu melakukan edukasi yang gencar, agar literasi asuransi semakin meningkat.

Tingginya literasi itu akan memengaruhi pemahaman masyarakat terkait manfaat dan risiko layanan jasa keuangan, termasuk asuransi. Dengan pemahaman yang baik, digitalisasi seluruh proses bisnis pun akan memberikan manfaat lebih besar dan lebih bermakna.

"Kalau logikanya saya beli saham lewat apps di harga pucuk lalu turun, saya mau protes sama siapa? Kan saya yang bertanggung jawab [atas keputusan itu]. Asuransi jangan dibatasi, justru perkuat edukasi seperti yang BEI lakukan dengan membuat bursa corner di kampus-kampus," ujar Togar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper