Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa penyelesaian kasus AJB Bumiputera 1912 memerlukan putusan pengadilan, dalam menentukan siapa pihak yang berwenang mewakili kepentingan pemegang polis. Hal tersebut karena Bumiputera merupakan perusahaan berbentuk usaha bersama atau mutual.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menanggapi perkembangan polemik Bumiputera, yang mengalami gagal bayar dan kekosongan organ-organ manajemen. Jumlah direksi definitif Bumiputera saat ini kurang dari ketentuan minimal, demikian pula jumlah Badan Perwakilan Anggota (BPA).
BPA berperan sebagai perwakilan pemegang polis dalam mengawasi dan menentukan kebijakan strategis Bumiputera, yang terdiri dari 11 daerah pemilihan (dapil) di seluruh Indonesia. Saat ini, hanya terdapat tiga anggota BPA dan Ketuanya, Nurhasanah, ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar perintah OJK.
Wimboh menilai bahwa para pemegang polis harus mengetahui kondisi dan struktur Bumiputera yang merupakan perusahaan mutual. Dalam perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama, pemegang polis adalah pemegang saham atau pemilik dari perusahaan, sehingga bisa turut bersuara atas keputusan perusahaan.
"Itu harus dikasih tahu semua pemegang polis bahwa [Bumiputera adalah] mutual. Mutual itu artinya pemegang polis juga pemlik. OJK harus bicara dengan BPA," ujar Wimboh pada Minggu (8/8/2021).
Menurutnya, perlu terdapat dialog antara para pemegang polis selaku pemilik bumiputera dengan diwakili oleh BPA dengan OJK. Namun, saat ini BPA dinilai ada dalam kondisi vakum karena jumlah anggotanya yang di bawah ketentuan dan telah melewati masa jabatan.
Nurhasanah menjabat sebagai Ketua BPA hingga 2020, tetapi sejak habisnya masa jabatan itu belum kunjung terdapat pemilihan angota BPA, yang kini bernama Rapat Umum Anggota (RUA). Nurhasanah pun tercatat menjalankan sidang dan mengikuti berbagai rapat sebagai ketua, meski telah melewati masa jabatannya.
Wimboh pun menilai bahwa berbagai polemik yang terjadi di Bumiputera harus dibawa ke pengadilan, khususnya untuk menetapkan hal-hal yang tepat di mata hukum, seperti status dan kewenangan BPA. Tanpa adanya putusan pengadilan, berbagai kebijakan yang dilakukan Bumiputera bisa memiliki posisi hukum yang kurang kuat atau justru tidak sesuai dengan ketentuan.
"Ini BPA vakum, maka kami minta ajukan BPA ke pengadilan, baru nanti bicara. Semua pemilik kami ajak bicara," ujarnya.
Berdasarkan Anggaran Dasar (AD) Bumiputera, seluruh aspirasi pemegang polis atau pemilik perusahaan harus disampaikan oleh BPA. Oleh karena itu, ketetapan hukum menjadi aspek penting agar penyelamatan Bumiputera dapat dilakukan dan penyehatan keuangan bisa berjalan.
"Semua itu yang ngomong mewakili BPA. Terus ini gimana? Ya gitu, saya rasa komunikasi sangat penting. Ini pemilik wakilnya mana. Makanya pengadilan kami minta menentukan wakil dengan kami," ujar Wimboh.