Bisnis.com, JAKARTA - Mekanisme teknis bergabungnya asuransi syariah ke dalam Konsorsium Asuransi Barang Milik Negara atau BMN masih menunggu konsolidasi internal Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI).
Komite Teknik Konsorsium Asuransi BMN Heddy Pritasa mengatakan bahwa hingga kini belum ada pembahasan mengenai hal-hal teknis, termasuk pengelolaan dana konsorsium, bila nantinya perusahaan asuransi syariah bergabung. Konsorsium juga belum mengetahui berapa jumlah perusahaan asuransi syariah yang akan bergabung.
"Kami dari konsorsium masih menunggu konsolidasi internal perusahaan asuransi dan reasuransi syariah di dalam AASI dahulu," ujar Heddy kepada Bisnis, Senin (20/9/2021).
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif AASI Erwin Noekman menuturkan bahwa pihaknya telah melakukan diskusi dengan PT Reasuransi Maipark sebagai administrator Konsorsium Asuransi BMN pada Senin (13/9/2021). Namun, pembahasan dalam diskusi tersebut belum menyangkut persoalan teknis.
Persoalan teknis belum dibahas lantaran AASI masih membutuhkan konfirmasi kesediaan dari anggota perusahaan asuransi syariah yang berminat atau mampu ikut serta bergabung ke dalam Konsorsium Asuransi BMN. Sejauh ini, menurut Erwin, minat anggota perusahaan asuransi syariah untuk bergabung cukup tinggi.
"Kalau minat sepertinya cukup banyak. Namun, sesuai ketentuan dari DJKN [Direktorat Jenderal Kekayaan Negara], ada persyaratan yang mungkin sulit dipenuhi perusahaan asuransi syariah," kata Erwin.
Baca Juga
Erwin tidak menjelaskan lebih rinci terkait hal tersebut. Namun, dia mengatakan bahwa AASI akan segera bertemu lagi dengan PT Reasuransi Maipark dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) pada pekan ini untuk membahas lebih lanjut mekanisme bergabungnya asuransi syariah di konsorsium.
"Kami akan ketemu lagi dengan Maipark dan AAUI, akan lebih detail setelahnya," katanya.
Belum lama ini, Kementerian Keuangan dan AASI menyepakati masuknya perusahaan-perusahaan asuransi syariah ke dalam Konsorsium Asuransi BMN. Sejak terbentuk pada 2019, konsorsium itu baru berisikan perusahaan-perusahaan asuransi dan reasuransi konvensional.
Saat ini, Konsorsium Asuransi BMN terdiri atas 50 perusahaan asuransi umum dan enam perusahaan reasuransi. Perusahaan-perusahaan yang tergabung itu mampu memberikan kapasitas per risiko hingga Rp1,4 triliun dan diperkirakan akan bertambah seiring masukknya asuransi syariah.
Konsorsium telah memproteksi aset-aset dari 51 kementerian/lembaga, yakni sebanyak 4.334 nomor urut pendaftaran (NUP). Seluruh aset itu memiliki nilai pertanggungan Rp32,41 triliun dengan premi sebesar Rp49,13 miliar.
Sebelumnya, Komite Teknik Konsorsium Asuransi BMN Heddy Pritasa menilai bahwa bergabungnya perusahaan asuransi syariah dapat memperkuat dan meningkatkan kapasitas proteksi dari Konsorsium Asuransi BMN.
"Asuransi BMN akan memiliki [polis dengan] prinsip kesyariahan. Ini sudah disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah [DPS] di asuransi syariah untuk ikut bersama-sama dalam konsorsium," ujar Heddy pada Jumat (10/9/2021).
Bergabungnya perusahaan-perusahaan asuransi syariah membuat konsorsium akan mengelola dua kantong dana, yakni dana-dana konvensional dari anggota eksisting dan dana-dana berprinsip syariah dari perusahaan-perusahaan asuransi syariah yang akan bergabung. Heddy memastikan bahwa dana itu tidak akan dicampurkan sehingga prinsip syariah akan tetap terjaga.
"Seperti unit usaha [syariah] dan induk usahanya, ada [pengelolaan dana] konvensional dan ada yang syariah," ujarnya.
Adapun, Direktur Barang Milik Negara Kementerian Keuangan Encep Sudarwan menyebut bahwa total aset negara yang perlu diasuransikan adalah 58.038 kantor dengan nilai aset Rp128,4 triliun, 5.549 fasilitas kesehatan dengan nilai Rp17,6 triliun, dan 38.193 sarana pendidikan dengan nilai Rp41,6 triliun. Totalnya mencapai sekitar Rp187,6 triliun.
Meski belum semua kementerian dan lembaga, termasuk aset-asetnya, terproteksi oleh asuransi BMN, Kementerian Keuangan terus mendorong agar seluruh jajaran pemerintahan mau mengasuransikan asetnya. Bahkan, hal itu tetap didorong di tengah pandemi Covid-19.