Bisnis.com, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan telah melakukan stress test untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan penarikan stimulus moneter atau tapering oleh the Fed, bank sentral di Amerika Serikat (AS).
Perry mengatakan dari stress test yang dilakukan, diperkirakan dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan tapering the Fed di masa pandemi ke perekonomian domestik akan jauh lebih rendah dari efek taper tantrum pada 2013.
“Dengan berbagai asesmen dan kondisi ekonomi Indonesia, Insyaallah dampak tapering tentu saja bisa diantisipasi secara baik dan lebih rendah dibandingkan Fed taper tantrum pada 2013,” katanya dalam konferensi pers virtual, Selasa (21/9/2021).
Dia menjelaskan, ada tiga alasan yang melatarbelakangi perkiraan tersebut. Pertama, yaitu komunikasi yang baik dilakukan oleh the Fed dibandingkan dengan periode taper tantrum pada 2013. Hal ini terlihat dari respon yang dapat dipahami pasar, serta tingkat imbal hasil US Treasury yang meningkat secara bertahap.
Perry memperkirakan tapering the Fed paling cepat baru akan dilakukan pada November 2021 dan akan berlanjut pada 2022, sementara kenaikan suku bunga the Fed baru akan dilakukan pada kuartal III/2022.
Kedua, dia menyampaikan BI bersama dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, melakukan koordinasi iyang kuat dalam melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).
Baca Juga
“Sejak awal tahun dan sekarang BI tidak banyak melakukan intervensi, bekerjanya mekanisme pasar bisa mengakomodasi penyesuaian yang ada, rupiah tetap stabil. indikator lain, imbal hasil SBN pernah naik jadi 6,7-6,8 persen, sekarang rendah,” jelasnya.
Ketiga, Perry mengatakan ketahanan eksternal Indonesia saat ini cukup kuat dibandingkan dengan periode 2013, tercermin dari tingkat defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang rendah, yaitu diperkirakan mencapai 0,6 hingga 1,4 persen pada tahun ini.
Ketahanan eksternal Indonesia juga tercermin dari posisi cadangan devisa yang tinggi, yaitu mencapai mencapai US$144,8 miliar pada Agustus 2021.