Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) turut merasa lega karena satu per satu pelaku industri peer-to-peer (P2P) lending sudah mampu mencatatkan profit perdana mereka pada periode 2021.
Sekadar informasi, industri cenderung diramaikan oleh perusahaan rintisan (startup) ini memang masih terbilang 'balita', karena baru resmi berdiri lewat regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada kisaran 2016.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menilai periode lima tahunan untuk mencapai titik profitabilitas merupakan kabar baik, terutama bagi pelaku yang berstatus startup, sebab mengindikasikan para platform mampu membawa industri ke arah semakin matang.
Oleh sebab itu, AFPI pun terus mengingatkan para pemain untuk senantiasa menaati aturan main dari regulator, seiring terus memperbaiki kualitas dan memperbesar perannya dalam menghubungkan pendana (lender) dan peminjam (borrower).
Terutama, terus memutakhirkan credit scoring yang dimiliki, menjaga tingkat kredit macet atau wanprestasi pengembalian pinjaman 90 hari (TWP90) tetap rendah, serta mematuhi kode etik operasional usaha.
"Untuk bisa memenangkan persaingan, platform harus mampu menjaga kredibilitas, yang sejalan dengan upaya menjaga kepercayaan lender. Biar dipercaya, tentu harus handal dan meningkatkan expertise dalam penyaluran pinjaman, sekaligus terus menjaga manajemen risikonya," jelasnya kepada Bisnis, Selasa (21/9/2021).
Kus mengungkap hal ini merupakan keniscayaan, karena berkaitan erat dengan fungsi dasar platform P2P lending yang hanya bisa menjadi penghubung fasilitas pinjaman.
Alhasil, revenue platform utamanya bukan berasal dari bunga seperti lembaga jasa keuangan lain, tetapi dari manajemen fee. Bunga atau imbal hasil dari aktivitas pinjam-meminjam sebagian besar kembali ke lender.
Oleh sebab itu, skala disbursement pun menjadi faktor dominan dalam menentukan perkembangan suatu platform P2P lending. Seiring dengan bagaimana platform mampu meningkatkan jumlah costumer dan rata-rata ticket-size yang tersalurkan.
"Maka dari itu, tantangan besar untuk mencapai profit berasal dari sisi efisiensi biaya digitalisasi. Kita memang terus berharap biaya costumer due diligence, seperti e-KYC, digital signature, credit scoring, serta layanan pembayaran bisa makin murah. Tapi kalau sekarang suatu platform sudah bisa semakin efisien, tentu ruang profitabilitas mereka semakin terbuka," tambahnya.
Selain itu, platform juga bisa mencapai efisiensi lewat menekan beban operasional, seiring penguatan infrastruktur teknologi dan penggunaan otomasi yang semakin canggih. Namun, AFPI terus mengingatkan jangan sampai platform melanggar kode etik operasional.
Terakhir, bagi platform P2P lending yang berupaya menggenjot kinerja keuangannya lewat ekspansi layanan, diharapkan tetap menjaga kualitasnya dengan senantiasa mematuhi aturan main yang ada dan rutin berkonsultasi dengan regulator.