Bisnis.com, JAKARTA – Digitalisasi dalam dunia perbankan kini menjadi sebuah keharusan, bukan lagi pilihan. Kolaborasi antarpelaku industri jasa keuangan tak bisa lagi dilihat sebagai persaingan, tetapi sebagai faktor kunci dalam menumbuhkan ekosistem.
Ketua Bidang Operation, Technology, dan Regulatory Reporting Perbanas Indra Utoyo mengatakan di era ekonomi kolaborasi, bank harus bergerak cepat memberikan value dengan merangkul mitra lain agar dapat memberikan solusi pada nasabah.
“Berkolaborasi tetapi berkompetisi ini menjadi hal biasa saja, termasuk bank dengan fintech, yang menurut saya lebih banyak kolaborasi ketimbang kompetisinya,” ujar Indra dalam webinar yang diselenggarakan Bisnis Indonesia dan Mambu, Kamis (28/10/2021).
Menurutnya, para pelaku fintech atau teknologi finansial (tekfin) merupakan para spesialis di bidang masing-masing. Untuk masuk ke dalam ekosistem tersebut, diperlukan kolaborasi antara bank dengan tekfin dalam hal pembiayaan.
Indra memaparkan bahwa ada empat klasifikasi bank digital berdasarkan trennya. Pertama, bank digital bagian dari ekosistem grup konglomerasi keuangan, seperti kehadiran BRI Agroniaga yang kini bertransformasi menjadi Bank Raya, dan BCA Digital.
Kedua adalah bank digital yang merupakan bagian dalam ekosistem nongrup konglomerasi keuangan, laiknya Allo Bank dan Motion Banking.
Baca Juga
Ketiga, bank digital bagian dari tekfin, seperti Bank Neo Commerce. Keempat, bank digital yang menjadi bagian dari platform teknologi, semisal, Sea Bank dan Bank Jago.
“Ini yang kami lihat sebagai fenomena yang terjadi dalam digital bank dan yang jelas ada tiga hal, semua akan bermain pada akses ekosistem, masing-masing dengan teknologi semakin hyper personalize, dan harus memiliki modal yang cukup kuat,” kata Indra.
Menurut Indra, kolaborasi menjadi penting bagi bank digital karena masyarakat dinilai belum siap dalam mengadopsi layanan digital perbankan.
Untuk itu, tekfin memiliki peran penting dalam menyediakan akses layanan keuangan yang efisien dan praktis. Hal ini didorong oleh penggunaan internet dan transaksi pembayaran melalui tekfin yang meningkat signifikan.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat industri peer-to-peer (P2P) lending menjadi komponen industri keuangan non-bank atau IKNB yang tumbuh eksponensial dengan outstanding pembiayaan Rp27,48 triliun pada kuartal III/2021 atau tumbuh 116,2 persen secara tahunan.
Direktur IT & Operasi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Y.B Hariantono menuturkan kolaborasi dan kompetisi berjalan beriringan. Ada saatnya di dalam digital platform bank mesti berkompetisi, tetapi secara produk juga perlu berkolaborasi.
“Intinya di zaman sekarang yang namanya kompetisi dan kolaborasi itu berjalan terus. Jadi, teman di sebelah tidak bisa disebut kompetitor karena kita juga berkawan dalam satu hal dan bersaing dalam hal lainnya,” kata Hariantono.
Dia menilai bahwa dalam digital banking, perbankan perlu berfokus mengembangkan digitalisasi produk, dan digital platform guna mengikutsertakan pelanggan dalam layanan perbankan digital sesuai dengan segmen yang akan digarap.
Country General Manager Mambu Husni Fuad menyatakan apabila bank dan tekfin saling berkolaborasi, skala bisnis keduanya akan semakin cepat bertumbuh, apalagi dalam hal mengakuisisi satu hingga dua juta pelanggan.
Di sisi lain, digitalisasi di industri perbankan diharapkan mampu mendorong penyaluran kredit pada dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kemudahan teknologi dinilai mampu menembus sekat yang selama ini melintangi mereka.
Percepat Pembiayaan
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menuturkan seperempat atau 25 persen dari pelaku UMKM mengeluhkan sulitnya memenuhi syarat agunan pinjaman perbankan dan rumitnya proses pendaftaran.
Dia menambahkan, kesulitan tersebut akhirnya bermuara negatif pada pengembangan bisnis skala kecil. Hal ini juga sejalan dengan temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengungkapkan kesenjangan keuangan di Indonesia masih sangat lebar.
Kesenjangan itu tercatat mencapai US$165 miliar pada tahun lalu. Kondisi tersebut terjadi karena sebagian besar atau sekitar 70 persen UMKM belum mendapatkan pembiayaan.
Oleh karena itu, kata Arsjad, tantangan yang dihadapi bagi UMKM dapat diminimalisasi dengan digitalisasi proses pembiayaan.
“Proses pendaftaran yang rumit juga bisa dihindari dengan teknologi, platform online digital yang memungkinkan proses administrasi yang dilakukan sebelumnya secara daring dan lebih efisien,” ujar Arsjad.
Di sisi lain, OJK telah menyatakan komitmennya dalam mendukung pemulihan serta mendorong pertumbuhan UMKM melalui berbagai kebijakan di sektor keuangan.
Wujud komitmen tersebut terlihat dalam kebijakan pencegahan yang dirilis oleh OJK, yakni restrukturisasi kredit dan pembiayaan agar UMKM dapat bertahan. Ini tertuang dalam POJK 11 dan POJK 48 tahun 2020.
Selain itu, OJK juga memiliki program guna mendorong pengembangan UMKM dalam satu ekosistem digital, yang mengintegrasikan proses dari hulu ke hilir. Salah satunya adalah pembentukan skema kredit usaha rakyat (KUR) klaster pertanian.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan pengembangan sektor pertanian masih memerlukan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya terkait pembiayaan, tetapi juga mengenai pendampingan, pengelolaan, dan pemasaran.
“Untuk itu, OJK bersama dengan pemerintah daerah setempat, industri keuangan dan juga stakeholder lainnya mendukung dan terus memperluas akses keuangan melalui pengembangan penyaluran KUR berbasis klaster di berbagai daerah di Indonesia,” ujarnya.
Di sisi lain, pembentukan klaster usaha pertanian, perkebunan, dan peternakan menjadi langkah besar dalam mendorong penyaluran KUR ke sektor produktif, sebab pemerintah telah mengalokasikan KUR sebesar Rp253 triliun sepanjang tahun ini. Per 6 September, penyalurannya mencapai Rp176,92 triliun atau 69,93 persen dari target.