Bisnis.com, JAKARTA - Federal Reserve (Fed) mengumumkan akan mengurangi pelonggaran likuiditas atau tapering mulai akhir November ini.
Jika kondisi ekonomi membaik ke depannya, The Fed mengatakan akan terus melakukan pengurangan aset setiap bulannya dan bisa jadi mengakhiri pembelian obligasi pada pertengahan 2022.
Berdasarkan hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) November 2021, tapering akan dimulai dengan memotong laju pembelian aset bulanan sebesar US$10 miliar untuk surat berharga, dan US$5 miliar untuk jaminan berbasis mortgage atau agency mortgage-backed security (agency MBS). Pengurangan dengan laju yang sama akan diumumkan pada pertengahan Desember 2021.
Akan tetapi, bank sentral Amerika Serikat (AS) itu tetap memutuskan untuk menahan Federal Fund Rate (FFR) di level hampir mencapai 0 persen. Bank sentral menyampaikan bahwa pengurangan pembelian obligasi tidak memberikan sinyal langsung terkait dengan kenaikan FFR.
Kepala Ekonom BCA David Sumual melihat kebijakan dari The Fed masih menunjukkan sinyal dovish. Hal itu karena kenaikan inflasi di AS, yang menjadi salah satu pemicu kebijakan tapering, diprediksi masih akan bersifat temporer. David bahkan menilai hingga saat ini, pasar masih belum menunjukkan adanya gejolak tertentu.
"Itu kenapa reaksi pasar sampai sekarang masih adem ayem aja. Indeks saham, Dow Jones, itu juga bergerak banyak jadi karena masih sesuai ekpektasi," kata David kepada Bisnis, Kamis (4/11/2021).
Baca Juga
Dampaknya terhadap pasar keuangan Indonesia, jelas David, tidak akan besar.Hal ini disebabkan terutama oleh sedikitnya porsi kepemilikan asing terhadap SBN di pasar keuangan Indonesia.
Oleh sebab itu, David yakin bahwa tapering quantitative easing (QE) yang terjadi tahun ini akan berbeda dengan yang terjadi pada 2013 silam, ketika pengumuman dilakukan secara mengejutkan atau tiba-tiba.
Pada saat itu, terjadi aliran modal keluar secara besar-besaran terutama dari emerging markets atau pasar negara berkembang seperti Indonesia. Namun, David menjelaskan bahwa saat ini porsi asing di pasar SBN Indonesia hanya sebesar 21 persen. Menurutnya, aliran dana asing belum masuk lagi ke pasar domestik hingga saat ini.
"Equity secara [year-to-date] ytd sudah masuk Rp40,1 triliun. Tapi ytd bonds [obligasi] itu masih negatif. Minggu lalu saja Rp8 triliun keluar. Jadi sepanjang 2021 ini sudah [keluar] Rp23,6 triliun sampai 2 november kemarin," terangnya.
Hal tersebut cukup berbeda dengan taper tantrum pada 2013 lalu. David menyebut porsi kepemilikan asing pada sekitar delapan tahun yang lalu bisa mencapai sekitar 40 persen. Oleh sebab itu, arus pergerakan aliran modal asing bisa sangat menentukan stabilitas nilai tukar rupiah.
"Kalau dulu, keluar masuknya mereka jadi inflection point atau penentu dari pergerakan rupiah. Kalau saya lihat sekarang, akhir-akhir ini pergerakan harga komoditas yang korelasinya erat dengan rupiah. Jadi, menurut saya taper iya, tantrum enggak," pungkasnya.