Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja asuransi kredit belum mampu terdongkrak meski penyaluran kredit telah mengalami pertumbuhan. Bisnis asuransi kredit masih menghadapi tantangan terkait dengan kecukupan premi terhadap risiko kredit yang dihadapi.
Sampai dengan kuartal III/2021, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat perolehan premi asuransi kredit mengalami kontraksi sebesar 12,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Industri asuransi umum membukukan premi asuransi kredit senilai Rp8,49 triliun per kuartal III/2021 dari sebelumnya Rp9,67 triliun per kuartal III/2020.
Lini bisnis asuransi kredit merupakan salah satu lini bisnis yang menjadi kontributor premi terbesar di industri asuransi umum, setelah asuransi properti dan asuransi kendaraan bermotor. Hingga kuartal III/2021, kontribusi premi asuransi kredit mencapai 15,4 persen terhadap total premi industri asuransi umum.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Hastanto Sri Margi Widodo mengatakan, penurunan signifikan pada asuransi kredit disebabkan adanya perusahaan-perusahaan asuransi yang melakukan pembatalan atau pengembalian premi dari kewajiban jangka panjang.
"Ada penurunan yang signifikan di asuransi kredit. Secara makro ekonomi kredit sudah tumbuh, kenapa asuransi turun? Perlu dipahami [asuransi kredit] turun karena memang ada perusahaan-perusahaan asuransi melakukan pembatalan atau pengembalian premi. Kami punya banyak isu dari asuransi kredit itu adalah kecukupan premi asuransi kredit," ujar Widodo, pekan lalu.
Dia menuturkan, isu tersebut telah disuarakan AAUI sejak November 2020. Menurutnya, nilai premi mungkin tidak mencukupi karena adanya peningkatan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di masa pandemi.
Baca Juga
"Dulu waktu kami jual dengan tingkat non performing loan sekitar di 2 persen, sekarang sudah naik sampai 3,9-4 persen dan kalau secara industrial sekarang 3,2 persen. Ini membuat ada kekurangan sekitar 1 persen terhadap seluruh portofolio dan ini akan menantang sekali melihat jumlah besarnya penjualan terhadap asuransi kredit yang sudah berjalan," jelasnya.
Belum lagi, lanjutnya, laporan Bank Dunia juga menunjukkan adanya peningkatan risiko kredit atau loan at risk dari 20 persen menjadi 22 persen dari total baku kredit.
AAUI mencatat klaim dibayar lini bisnis asuransi kredit sampai dengan kuartal III/2021 mencapai Rp3,79 triliun atau turun sebesar 36,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp5,98 triliun. Rasio klaim dibayar terhadap premi dicatat asuransi kredit per kuartal III/2021 berada di angka 44,6 persen, turun dari rasio klaim kuartal III/2020 yang mencapai 61,9 persen. Namun, angka klaim ini tidak merefleksikan portofolio kewajiban jangka panjang. Karakteristik asuransi kredit adalah periode pertanggungan jangka panjang.
Sementara itu, PT KSK Insurance Indonesia memproyeksikan industri asuransi umum akan dapat tumbuh sekitar 9-11 persen pada 2022.
Direktur Keuangan KSK Insurance Suharjo Lumbanraja menilai, pertumbuhan industri asuransi umum tahun depan tersebut salah satunya akan didorong oleh asuransi kredit yang diperkirakan akan tumbuh sekitar 20-25 persen.
"Kami perkirakan asuransi kredit menjadi faktor utama memberikan pertumbuhan mengingat kebijakan bank sentral yang memberikan bunga rendah sehingga sektor ekonomi dapat bergerak," kata Suharjo.
Di sisi lain, perusahaan reasuransi juga mengantisipasi potensi meningkatnya klaim reasuransi kredit. Potensi kenaikan tersebut dapat terjadi ketika program relaksasi kredit berakhir.
Direktur Utama PT Reasuransi Nasional Indonesia atau Nasional Re Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengatakan, kinerja asuransi kredit, baik di perusahaan asuransi maupun reasuransi, rata-rata belum membaik. Saat ini, perusahaan-perusahaan reasuransi di Indonesia tengah mencoba mengkonsolidasikan kembali dengan perusahaan asuransi terkait asuransi kredit.
Menurutnya, asuransi kredit memang menjadi perhatian utama perusahaan reasuransi saat ini, sejalan dengan imbauan AAUI agar para anggotanya meninjau ulang penerbitan asuransi kredit.
"Karena ke depan kami punya ekspektasi kemungkinan saat relaksasi ini berakhir, jangan sampai kemudian kecukupan dana untuk membayar klaim jika nanti ada klaim, itu tidak ada. Makanya me-review pencadangan di samping juga menegosiasi tarif," ujar Dody.
Selain itu, pihaknya juga berkoordinasi dengan perbankan untuk melibatkan pihak reasuradur dalam memitigasi risiko penyaluran kredit kepada debitur. "Itu fungsi kami di perusahaan reasuransi," imbuhnya.
Adapun, Nasional Re tengah memperbaiki tata kelola risiko dan pencatatan keuangannya. Perbaikan ini, kata Dody, akan berimbas pada kondisi keuangan perusahaan pada 2020. Namun, dia memastikan kondisi keuangan perusahaan membaik di 2021 dan optimistis kapasitas perusahaan akan lebih baik tahun depan.
"Dan alhamdulillah induk kami Askrindo juga mendukung. Kami saat ini lebih konservatif dalam menghitung pencadangan menggunakan metode yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi kami optimistis pencadangannya cukup dan dibantu dengan aktuaris yang proper. Kami juga diawasi oleh kantor akuntan publik yang bagus yang direkomendasikan holding kami," jelasnya.