Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan masih terdapat gap antara tingkat literasi dan inklusi keuangan konvensional dan keuangan syariah di Indonesia.
Kepala Bagian Edukasi, Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK, Primandanu Febriyan Aziz menjelaskan gap literasi keuangan syariah dengan konvensional mencapai 28,79 persen, sedangkan gap inklusi keuangan mencapai 66,18 persen pada 2019.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019, indeks literasi keuangan mencapai 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan mencapai 76,19 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan hasil survei OJK sebelumnya pada 2016, di mana indeks literasi keuangan mencapai 29,7 persen dan indeks inklusi keuangan mencapai 67,8 persen.
“Dengan demikian, dalam 3 tahun terakhir, dari 2016 ke 2019, terdapat peningkatan pemahaman keuangan literasi masyarakat sebesar 8,33 persen serta peningkatan terhadap inklusi sebesar 8,39 persen,” ujar Primandanu dalam acara yang diselenggarakan INDEF, Selasa (12/4/2022).
Selain itu, OJK juga telah mengukur indeks literasi dan inklusi keuangan khusus di sektor jasa keuangan syariah.
Pada 2019, tingkat literasi keuangan syariah menunjukkan peningkatan sebesar 8,93 persen dari sebelumnya 8,1 persen pada periode survei tahun 2016. Meski mengalami kenaikan, angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata indeks literasi keuangan konvensional yang sebesar 37,72 persen.
Baca Juga
Sementara itu, untuk tingkat inklusi keuangan syariah yang berkaitan dengan pemanfaatan produk dan layanan jasa keuangan syariah sudah mencapai 9,1 persen untuk bank syariah. Sedangkan indikator yang sama pada inklusi bank konvensional sudah mencapai 75,28 persen.
“Artinya, sebenarnya masih terdapat ruang yang cukup besar bagi upaya peningkatan pemahaman masyarakat tentang produk layanan jasa keuangan syariah di Indonesia, sehingga harapannya ke depan akan lebih banyak lagi yang memanfaatkan produk dan layanan syariah,” jelasnya.
Dari jenis sektor jasa keuangan syariah, perbankan syariah memiliki tingkat literasi keuangan syariah yang paling tinggi, yaitu mencapai 7,92 persen pada 2019. Angka ini meningkat dari sebelumnya 6,6 persen pada periode 2016.
Peningkatan juga diikuti oleh sektor keuangan syariah nonbank lainnya seperti pegadaian (4,51 persen), lembaga pembiayaan (4,01 persen), asuransi syariah (3,99 persen), hingga dana pensiun syariah (2,97 persen).
Apabila dilihat dari sisi penyebaran, di setiap provinsi di Indonesia menunjukkan hasil yang beragam. Primandanu mengungkapkan dari 34 provinsi di Indonesia terdapat kurang lebih 13 provinsi yang memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah di atas tingkat nasional.
Secara rata-rata, mayoritas provinsi yang berada di pulau Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat memiliki indeks literasi keuangan syariah yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi di pulau lainnya dengan sebaran indeks literasi yang sangat bervariasi.
Adapun, provinsi yang indeks literasi keuangan syariah masih terdapat gap yang cukup jauh dengan skala nasional di kisaran kurang lebih 1-2 persen.
Masih merujuk pada data SNLIK 2019, provinsi dengan indeks literasi keuangan syariah rendah antara lain Kalimantan Utara (0,79 persen), Gorontalo (1,05 persen), Maluku Utara (1,05 persen), Sulawesi Tenggara (1,05 persen).
Lalu ada Bali (1,05 persen), Sulawesi Barat (1,31 persen), Nusa Tenggara Timur (1,31 persen), Sulawesi Utara (1,57 persen), serta Kalimantan Timur (1,84 persen).
“Wilayah ini menjadi prioritas wilayah kami dalam kami melakukan kegiatan literasi dan edukasi keuangan syariah,” katanya.