Bisnis,com, JAKARTA — Analis dan ekonom memprediksi pencapaian obligasi hijau atau green bond pada tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu, kendati hingga pertengahan 2022 realisasinya masih sepertiga dari pencapaian obligasi hijau pada 2021.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat melaporkan pencapaian obligasi hijau pada 2021 mencapai US$2,26 juta atau sekitar Rp32 triliun.
Adapun hingga pertengahan 2022, nilai total obligasi hijau dari dua bank BUMN yaitu, BNI dan BRI, baru sekitar Rp10 triliun. BNI yang telah lebih dahulu merilis obligasi hijau, mencatat oversubscribed 4x. Sementara itu BRI oversubscribed 4,4x.
Mengenai hal tersebut, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus berpendapat green bond masih akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Dengan bertambahnya dukungan dari berbagai pemangku kepentingan terhadap obligasi hijau, kata Nico, pertumbuhan obligasi hijau akan terus berkembang.
“Jadi dari sisi perekonomian dan bank sentral mati-matian mendukung adanya pembiayaan hijau dan obligasi hijau. Ini menjadi salah satu poin yang positif,” kata Nico, Selasa (5/7/2022).
Baca Juga
Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan investor masih tertarik dengan obligasi hijau, selama memberikan imbal hasil yang menarik.
Investor juga melihat obligasi hijau sebagai produk investasi jangka panjang sehingga rencana negara-negara barat untuk kembali membiayai proyek energi fosil, tidak mempengaruhi keputusan investor.
Untuk diketahui, dilansir dari Bloomberg, negara barat bersepakat membatalkan komitmen penyetopan pembiayaan proyek bahan bakar fosil atau batu bara menyusul krisis energi akibat perang Rusia dengan Ukraina. Pada akhirnya, para anggota Group of 7 (G7) menyepakati sebuah kompromi untuk membatalkan komitmen penyetopan pembiayaan bahan bakar fosil.
“Kemudian selama perbankan masih berkomitmen terhadap pembiayaan hijau, investor masih akan tertarik berinvestasi di green bond,” kata Amin.
Adapun, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat Green bond masih cukup menarik, meskipun investor akan lebih selektif terhadap bank yang memang memiliki komitmen pendanaan hijau lebih tinggi dibanding peers atau kompetitor.
Jika ada perbankan yang porsi penyaluran ke sektor fosilnya makin besar dibanding sektor usaha lain, maka penerbitan green bond belum tentu efektif.
“Penyaluran obligasi hijau bisa jadi akan terdiversifikasi bukan hanya ke EBT, tetapi juga ke sektor lain seperti pembiayaan mobil listrik, hingga pengolahan limbah,” kata Bhima.
Bhima memperkirakan jumlah bank yang mengeluarkan obligasi hijau akan meningkat pada kuartal IV/2022 sejalan dengan kebutuhan bank untuk melakukan penataan keuangan (refinancing), dan penambahan modal.
“Wajar apabila bank masih hati-hati dalam penerbitan green bond khususnya valas karena risiko global seperti inflasi dan kenaikan suku bunga akan membuat cost of fund naik serta risiko selisih kurs,” kata Bhima.
Di sisi lain, lanjutnya, kondisi likuiditas bank juga masih gemuk sehingga bank mungkin belum perlu tambah pendanaan melalui surat utang.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Aestika Oryza Gunarto mengatakan pembiayaan hijau tetap akan tumbuh positif ke depan.
Hal tersebut tidak terlepas dari potensi pembiayaan hijau di Indonesia yang masih sangat besar, selain itu BRI juga berkomitmen untuk memberikan nilai kepada seluruh pemangku kepentingan.
“Tidak hanya economic value tetapi juga social value, melalui penerapan dan penguatan prinsip-prinsip ESG pada seluruh aspek bisnisnya,” kata Aestika.
Optimisme BRI tersebut tercermin dari aksi korporasi yang dilakukan oleh BRI, dimana BRI menerbitkan Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan mencapai Rp15 triliun dan dilakukan bertahap selama 3 tahun sampai 2024.
Dia mengatakan hingga akhir kuartal I/2022 BRI telah menyalurkan sebesar Rp639,9 triliun atau 65,6% dari total kredit BRI kepada aktivitas bisnis yang berkelanjutan.
Sebanyak Rp71,5 triliun atau 7,3% disalurkan kepada usaha yang berwawasan lingkungan atau green project. Green project yang dibiayai BRI diantaranya proyek energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan dan green building.
“Kualitas pembiayaan yang disalurkan kepada sektor hijau terjaga dengan baik dan dalam kondisi manageable,” kata Aestika.