Bisnis.com, JAKARTA - Kendati masih berstatus perusahaan rintisan, PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) sedianya telah kenyang pengalaman berproses sebagai lembaga keuangan konvensional sejak lahir 12 tahun silam.
Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra mengakui pola pikir itu agaknya mampu membentengi Amartha dari godaan-godaan khas tech-company, terutama untuk sekadar menjadi platform teknologi finansial yang mengejar pertumbuhan pengguna secara eksponensial.
"Amartha sejak awal selalu terjaga dalam koridor bisnis yang sustainable dan profitable. Ketika saya memulai Amartha pada 2010 sebagai microfinance, belum ada bayangan menjadi tech-company. Bahkan, belum terbayang bahwa layanan keuangan berbasis teknologi di Indonesia akan sebesar seperti saat ini," ujarnya dalam wawancara khusus bersama Bisnis, dikutip Selasa (12/7/2022).
Sebagai informasi, Amartha saat ini menggenggam lisensi penyelenggara tekfin pendanaan bersama atau P2P lending dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, Amartha tergolong beda dari para kompetitornya, karena hanya berfokus melayani pinjaman pelaku usaha mikro wanita, terutama di pedesaan dan pelosok Indonesia.
Amartha secara kumulatif telah menyalurkan pinjaman senilai Rp7,07 triliun kepada 1,1 juta 'emak-emak' selaku borrower yang disebut Mitra Amartha. Kualitas pinjaman yang dihitung dari tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman 90 hari (TKB90) pun terjaga di 99,69 persen.
Awalnya, Taufan memulai Amartha sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) semacam koperasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melayani pinjaman sekelompok ibu-ibu dengan skema tanggung-renteng. Setelah bertransformasi menjadi P2P lending, Amartha pun masih menerapkan konsep serupa.
Baca Juga
Taufan mengisahkan bahwa Amartha sebenarnya sudah merasakan profit selama berstatus sebagai LKM pada periode 2010 sampai 2015. Namun, Taufan masih berambisi dan punya harapan memperluas peran, lewat menjangkau lebih banyak pelaku usaha mikro di seluruh Indonesia.
"Pertama kali kami berkenalan dengan investor itu Beenext pada 2015, yang juga terbilang baru mengeksplorasi kondisi Indonesia. Kami cerita perjalanan Amartha dan misi untuk memberdayakan UMKM lebih luas lagi. Pertemuan itu juga yang membawa kami bertemu seorang pakar teknologi untuk pertama kali, yang mengusulkan agar kami membangun suatu marketplace permodalan UMKM," ungkapnya.
Taufan menjelaskan bahwa tuntutan investor pada Amartha sebenarnya tak seseram seperti yang tergambar dalam iklim bisnis perusahaan rintisan saat ini, di mana suatu startup semakin identik dengan tekanan 'bakar uang' atas saran para pemodalnya.
Segelintir pemodal startup pun disindir karena semata mementingkan capital gain atas valuasi startup dalam portofolionya. Membawa para startup mengesampingkan profitabilitas, berpikir bahwa akuisisi pengguna di atas segalanya, sampai akhirnya ketergantungan dengan putaran pendanaan baru hanya untuk bertahan hidup.
"Amartha bersyukur didukung oleh investor yang punya pemikiran sejalan, serta punya visi-misi yang sama dengan kami. Tapi kalau dari Amartha sendiri, kami sekeras mungkin menghindari jangan sampai dana segar dari putaran pendanaan itu untuk biaya operasional, melainkan untuk pengembangan bisnis dan mendukung inisiatif terbaru Amartha ke depan," jelas Taufan.
Setelah mendapatkan putaran pendanaan tahap awal, Amartha kemudian merealisasikan putaran pendanaan Seri A pada awal 2017 yang dipimpin Mandiri Capital Indonesia. Setelah itu, pendanaan berlanjut ke Seri B yang diinisiasi oleh Line Ventures pada akhir 2019.
Terkini, putaran pendanaan terbaru Amartha berada di Seri C pada kisaran awal 2021. Tepatnya senilai US$28 juta atau setara Rp405 miliar yang dipimpin oleh Women’s World Banking Capital Partners II (WWB) dan MDI Ventures.
"Sebagai contoh, Mandiri Capital mengincar Amartha sebagai portofolio awal mereka karena melihat kemampuan kami menjadi pelengkap ekosistem layanan untuk nasabah segmen mikro mereka. Begitu pula para investor berikutnya, semua punya misi dan tujuan yang sejalan dengan Amartha, sehingga ketika ada putaran pendanaan baru pun kami tidak dilepas begitu saja," tambahnya.
Oleh sebab itu, tak heran apabila di tengah tren maraknya aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan oleh startup teknologi, Amartha justru sedang mencari 1.800 tenaga kerja di tahun ini, bahkan menargetkan mampu menarik 5.000 orang dalam waktu lima tahun ke depan.
Taufan menjelaskan bahwa rekrutmen 1.800 karyawan pun telah terealisasi sejak awal tahun. Terdiri dari karyawan untuk kebutuhan kantor pusat, maupun karyawan di kantor cabang wilayah operasional Amartha yang akan berperan sebagai pendamping lapangan para Mitra Amartha.
"Amartha sedang hiring talenta untuk memperbesar kapasitas kami mencapai target mampu melayani 5 juta pelaku usaha mikro dalam 2-3 tahun ke depan. Kami percaya mampu mengambil pekerjaan yang dianggap susah oleh lembaga keuangan kebanyakan, yaitu mencapai setiap pelosok negeri dan semakin ke arah Indonesia Timur, baik kawasan Nusa Tenggara, Maluku, maupun Sulawesi," tegasnya.
Terkini, Taufan mengklaim bahwa Amartha telah membukukan kinerja keuangan positif pada periode 2021 lalu. Taufan pun berharap Amartha bisa kembali mencetak profit pada tahun ini, kendati dirinya mengakui beban Amartha bakal semakin berat karena inisiatif ekspansi bisnis tahun ini lebih masif.
Ke depan, Taufan pun tak menutup kemungkinan soal rencana Amartha mencaplok entitas perbankan berada dalam naungannya. Terutama, apabila strategi tersebut dapat mendukung percepatan penyaluran pinjaman bagi para Mitra Amartha.
"Perjalanan kami mendampingi pelaku usaha mikro sudah 12 tahun, dan selama itu pula kami selalu melihat kebutuhan mereka sebagai prioritas. Jadi fokus kami masih untuk bertumbuh dengan sehat, tapi sekaligus menangkap opportunity yang ada, yaitu menghadirkan apa saja layanan keuangan yang tengah menjadi kebutuhan para Mitra Amartha," tutup Taufan.