Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau masyarakat untuk terus menerapkan prinsip 2L atau logis dan legal untuk menyaring setiap informasi baru.
Kedua prinsip tersebut diyakini dapat membuat masyarakat terhindar dari kejahatan siber yang mengintai, termasuk di sektor perbankan atau layanan keuangan lainnya.
Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK Horas V.M. Tarihoran mengatakan bahwa untuk terhindar dari berbagai kejahatan rekayasa sosial atau social engineering di internet, masyarakat harus terus mengedepankan logis dan legal untuk setiap informasi baru yang didapat.
Logis artinya setiap informasi harus ditelaah terlebih dahulu apakah informasi yang muncul masuk akal atau tidak masuk akal.
Jika informasi tersebut dirasa oleh masyarakat sebagai informasi yang masuk akal atau logis, maka langkah selanjutnya adalah memastikan legalitas dari instansi atau informasi itu sendiri.
"Jebakan-jebakan 'batman' itu sebenarnya, dilihat dari segalanya sudah ditentang oleh logika kita. Oleh karena itu selalu ingat legal-logis. Kalau logika kita masih lewat, cek legalitasnya," kata Horas dalam Workshop Literasi Digital Perbankan Peduli Lindungi Data Pribadi, Jumat (19/8/2022).
Baca Juga
Horas juga mengatakan bahwa OJK akan terus melakukan literasi keuangan kepada masyarakat khususnya di era digital. Menurutnya, sebagai negara terbesar ke-4 di dunia, paparan internet terhadap masyarakat Indonesia sangat besar.
Pada 2021, menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlah pengguna internet di indonesia mencapai 202 juta pengguna, atau setara dengan 76 persen dari total populasi.
Lebih lanjut, kata Horas, pada 2019 indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia mencapai 76,9 persen. Artinya lebih dari setengah masyarakat Indonesia telah menggunakan layanan keuangan, termasuk yang berbasis internet.
Di sisi lain, kerentanan timbul karena dari jumlah 76 persen persen tersebut, yang memiliki literasi baik mengenai keuangan hanya 38 persen atau setengah dari populasi yang telah menggunakan layanan keuangan.
"Jadi ada 50 persen dari orang-orang yang menggunakan layanan keuangan, terpapar risiko [kejahatan siber]," kata Horas.
Dia menambahkan, OJK menerima banyak pengaduan karena ketidaktahuan masyarakat atau rendahnya literasi. Sebagian besar pengaduan yang diterima adalah mengenai kejahatan siber.
Para peretas memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat sehingga mereka menekan sebuah tombol tertentu, yang membuat mereka dapat dengan mudah mendapat data masyarakat.