Bisnis.com, JAKARTA- Himpunan bank milik negara (Himbara), yaitu BRI (BBRI), BTN (BBTN), dan Bank Mandiri (BMRI), telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menjaga pertumbuhan di tengah potensi kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Himbara juga telah mengantisipasi potensi kenaikkan BBM dan akan terus memacu penyaluran kredit sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Rudi as Aturridha mengatakan dalam mendukung ekspansi bisnis ke depan, Bank Mandiri telah memperkirakan tren pertumbuhan makroekonomi sebagai acuan dalam menentukan kebijakan, termasuk kenaikkan BBM.
“Wacana kenaikan BBM tentunya telah diantisipasi oleh pasar termasuk perbankan. Meski begitu, dengan kondisi perekonomian domestik yang masih kuat kami memproyeksi pertumbuhan kredit juga tetap baik di tahun ini, terutama sektor-sektor yang prospektif,” kata Rudi kepada Bisnis, Rabu (31/8).
Di tengah potensi kenaikkan BBM, kata Rudi, perseroan tetap menargetkan pertumbuhan kredit secara konsolidasi sebesar 11% yoy pada tahun ini, dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas dan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Aestika Oryza Gunarto mengatakan perseroan telah melakukan simulasi dan riset, seandainya pemerintah menaikkan harga BBM dan kemudian dalam skenario terburuk terjadi inflasi yang tinggi, BRI ternyata tidak elastis pertumbuhan kreditnya.
Baca Juga
Sebagai contoh, misalnya inflasi yang tinggi kemudian pemerintah melakukan pengetatan- pengetatan, pasti pemerintah mengkompensasi hal tersebut kepada masyarakat yang paling terdampak di bawah melalui berbagai stimulus, dan BRI bisa menjadi eksekutor dari stimulus itu. BRI menyebut langkah tersebut sebagai strategi business follow stimulus.
BRI meyakini apabila BBM naik, maka pemerintah berupaya agar inflasi yang naik itu diimbangi dengan GDP growth, dimana hal itu salah satunya harus didorong oleh jika BRI tetap menyalurkan kredit.
“Contohnya yakni kredit-kredit yang memang bunganya disubsidi oleh pemerintah dan penyebarannya di perbanyak lagi ke grassroot seperti KUR,” kata Aestika.
BRI, ujar Aestika, tetap optimistis mampu menumbuhkan kredit secara umum dikisaran 9 persen - 11 persen yoy hingga akhir 2022. Sampai dengan saat ini, BRI tidak merevisi pertumbuhan yang ditetapkan pada awal tahun. Beberapa strategi yang telah disiapkan BRI untuk menjaga kualitas kredit perseroan antara lain adalah selective growth dan maintenance quality.
Dia menuturkan BRI selektif dalam menyalurkan kredit dengan berfokus pada sektor-sektor yang memiliki potensi yang kuat serta eksposur minimum terhadap gejolah tersebut, seperti Pertanian, Industri bahan kimia, serta makanan dan minuman.
“Selain itu menerapkan strategi business follow stimulus dengan memfokuskan pertumbuhan berdasarkan stimulus pemerintah untuk penguatan pertumbuhan ekonomi domestik,” kata Aestika.
Adapun, Corporate secretary PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Achmad Chaerul mengatakan kenaikan harga BBM dinilai tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap bisnis BTN, terutama KPR, karena sejauh ini properti merupakan sektor yang cukup resilient terhadap guncangan kondisi ekonomi.
BRI akan terus fokus pada target bisnis untuk 2022, dengan tetap mengevaluasi dan memperhatikan pergerakan ekonomi jika terjadi kenaikan harga BBM.
Dalam menguji dampak potensi kenaikan beberapa acuan harga seperti kenaikan suku bunga dan potensi kenaikan inflasi akibat kenaikan BBM, BTN melakukan beberapa simulasi stress test atas potensi dampak terhadap bisnis Bank.
“Berdasarkan hasil stress test tersebut, pengaruh kenaikan indikator-indikator tersebut masih berada pada ambang batas atas dari risk tolerance dan kami tetap optimis bahwa rencana bisnis Bank yang telah kami tetapkan masih dapat kami capai,” kata Achmad.
Dia mengatakan perseroan masih akan menargetkan pertumbuhan kredit sebagaimana telah ditetapkan pada kisaran 9 persen -10 persen, dengan menerapkan manajemen risiko kredit yang sesuai dengan kondisi makro saat ini, serta masih fokus pada kredit di sektor-sektor terkait perumahan.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan meminta pemerintah daerah (pemda) melakukan sosialisasi dan pemahaman tentang kenaikan BBM. Menurutnya kondisi harga minyak global membuat pemerintah tak punya pilihan untuk menaikan BBM.
Pengamat Ekonomi Perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan pemerintah berpikir realistis dalam menaikkan harga BBM. Kenaikkan tersebut, menurutnya, akan mendorong inflasi, dengan tingkat pass through sekitar 60-70 persen
Dia mengatakan jika saat ini Pertalite dibanderol Rp7.250, kemudian naik menjadi Rp9.000-Rp10.000, maka kemungkinan inflasi bisa ekstra 3-4 persen. Dengan posisi inflasi saat ini mencapai 4,9 persen, maka kenaikkan BBM bisa mendorong inflasi hingga 7 persen bahkan lebih untuk skema terburuk.
“Ketikan inflasi naik, BI rate naik. Suku bunga simpanan dan kredit naik. Ketika suku bunga acuan naik, isu nonperforming loan [NPL] dan permintaan kredit turun itu dampaknya kepada perbankan,” kata Doddy.