Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit berkelanjutan secara luas berisiko menimbulkan moral hazard debitur.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengatakan kebijakan restrukturisasi kredit sudah diperpanjang sebanyak tiga kali. Dalam setiap perpanjangan, kata Anung, OJK memberi masukan kepada pemerintah bahwa perpanjangan restrukturisasi kredit berpeluang menimbulkan perilaku moral hazard. Debitur tidak atau menunda membayar kredit.
Adapun jika kebijakan tersebut tidak diperpanjang dan langsung dihentikan, lanjutnya, kana berdampak pada cliff effect atau dampak buruk yang tiba-tiba datang dan berisiko menyebabkan kegagalan massal.
“Itu dilema. Jadi hasil dari riset kami. Nanti kami tidak lagi menerapkan stimulus secara luas, tetapi ditargetkan untuk menghindari moral hazard akibat dampak restrukturisasi kredit yang berkepanjangan,” kata Anung di Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Dia mengatakan penerapan kebijakan perpanjangan restrukturisasi nantinya akan melihat kemampuan suatu segmen, sektor dan daerah dalam membayar kredit dan keluar dari restrukturisasi.
OJK mencatat per Juli 2022, restrukturisasi kredit Covid-19 tersisa Rp560 triliunan, dengan perincian Rp196 triliun non-UMKM, dan Rp364 triliun berasal dari UMKM. Anung khawatir jika restrukturisasi tiba-tiba dihentikan, perbankan tidak memiliki cadangan yang cukup kuat.
Baca Juga
“Total masih ada sekitar 2,8 juta debitur restrukturisasi kredit. Kalau itu tiba-tiba kita hentikan, apakah kuat cadangan bank?” kata Anung.
Dia mengatakan ketika program restrukturisasi kredit dihentikan, bank harus menyiapkan cadangan dengan jumlah yang besar. OJK pun berharap bank secara perlahan-lahan bisa melakukan pencadangan hingga 2023.
“Mudah-mudahan nanti di akhir Maret 2023, cadangan bank sudah mampu mengcover Rp560 triliun yang tersisa,” kata Anung.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan OJK mencermati sedikit kenaikan rasio nonperforming loan (NPL) untuk kredit restrukturisasi Covid-19 dari 6,44 persen pada Juni 2022 menjadi 7,10 persen pada Juli 2022.
OJK pun mengevaluasi berbagai alternatif kebijakan yang diperlukan, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang dinilai sampai saat ini masih perlu dibantu.
“Tujuannya untuk melanjutkan pemulihan, termasuk dalam hal ini adalah dukungan kepada UMKM maupun daerah tertentu,” kata Mahendra di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Dia mengatakan sebagai salah satu langkah proaktif yang ditujukan khusus bagi kredit tertentu, OJK telah menerbitkan panduan dari sisi perkreditan/pembiayaan perbankan untuk membantu Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada Sapi.
Panduang tersebut antara lain berisi tentang penetapan kelancaran kualitas kredit/pembiayaan restrukturisasi, jangka waktu restrukturisasi kredit/pembiayaan dapat melebihi masa berlakunya kebijakan ini sepanjang sesuai perjanjian restrukturisasi dan penilaian kualitas kredit/pembiayaan lain untuk plafon hingga Rp10 miliar.
“Dapat hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok/bunga,” kata Mahendra.
Panduan pembiayaan perbankan untuk membantu Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada Sapi juga memperbolehkan bank memberikan kredit/pembiayaan lain baru kepada debitur terdampak.
Ketentuan panduan tersebut berlaku sesuai masa penetapan pemberlakuan status keadaan tertentu darurat PMK oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dapat dievaluasi kembali.
Saat ini sedang disusun Rancangan POJK pada daerah dan/atau sektor tertentu yang diperluas cakupannya kepada bencana non-alam. Hal ini merupakan respons cepat OJK dalam mengakomodir aspirasi masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi