Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja penyaluran kredit perbankan ke sektor konsumsi diperkirakan menghadapi jalan berkerikil, sebab survei Bank Indonesia (BI) memperlihatkan rencana penambahan pembiayaan rumah tangga ke depan cenderung menurun.
Berdasarkan Survei Permintaan dan Penawaran Pembiayaan Perbankan, turunnya penambahan pembiayaan rumah tangga ke depan tecermin dari saldo bersih tertimbang (SBT) sebesar 6,5 persen pada Agustus 2022. Angka ini turun dibandingkan bulan sebelumnya, yakni 7,3 persen.
Perinciannya, sebesar 1 persen responden rumah tangga, yang disurvei pada Agustus 2022, berencana menambah pembiayaan pada tiga bulan mendatang. Adapun, sebesar 1,4 persen lainnya merencanakan pengajuan kredit pada enam bulan mendatang.
Bank sentral menyebutkan kedua rencana penambahan pembiayaan tersebut cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil survei pada Juli 2022. Selain itu, bank juga diperkirakan masih menjadi sumber utama pemenuhan kredit dengan pangsa 55,4 persen. Porsi ini mengalami penurunan jika dibandingkan Juli 2022 yang sebesar 58,6 persen.
Survei bank sentral setidaknya menunjukkan bahwa upaya penyaluran kredit ke sektor konsumsi akan jauh lebih menantang. Apalagi, kondisi masyarakat saat ini juga dalam tekanan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan bahwa di tengah kondisi tersebut, bank harus berani melakukan tiga hal. Pertama adalah mendorong kredit konsumtif dari nasabah eksisting guna menjaga kualitas.
Baca Juga
Kedua, bank harus agresif melakukan ekspansi kredit di beberapa sektor yang banyak bekerja sama dengan lokapasar atau marketplace sehingga mampu memancing peningkatan permintaan.
“Ini tidak jauh berbeda dengan optimalisasi fungsi ekosistem digital yang sesuai dengan jenis kredit konsumtif yang ditawarkan,” kata Amin ketika dihubungi Bisnis, Minggu (18/9/2022).
Ketiga, lanjutnya, bank perlu menciptakan proses kredit instan yang memacu nasabah untuk aktif mengajukan pinjaman. Bank juga disebut perlu melakukan upaya ‘jemput bola’ dan aktif berekspansi di pasar-pasar baru yang belum disasar sebelumnya.
Amin menambahkan bank juga harus melihat alternatif pendapatan di luar pendapatan bunga, melalui aset-aset yang dimiliki. Semisal, menggenjot pendapatan berbasis komisi atau fee based income atau bergeser mencari peluang sebagai investment banking.
Tanggapan Bankir
Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) Daniel Budirahayu mengatakan porsi kredit konsumsi di pihaknya tidak terlalu besar, sehingga indikasi melemahnya penyaluran pembiayaan ke sektor tersebut dinilai tidak akan memengaruhi pertumbuhan kredit secara keseluruhan.
“Kualitas kredit masih terjaga dengan baik, sedangkan permintaan kredit di sektor produktif juga masih cukup baik,” kata Daniel kepada Bisnis.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR) Yuddy Renaldi menyatakan sampai saat ini kinerja kredit konsumsi perseroan masih tumbuh positif, dengan proyeksi pertumbuhan di kisaran 6 persen hingga akhir 2022.
“Meski secara persentase kredit konsumsi ini tumbuh single digit, namun secara absolut nilainya cukup besar karena memiliki porsi yang cukup besar dalam portofolio kredit kami, mencapai 60 persen. Non-performing loan [NPL] pun terjaga dibawah 1 persen. Segmen ini terbilang tahan goncangan karena pada umumnya berbasis payroll,” tutur Yuddy.
Dia menyatakan bahwa sampai dengan Juli 2022, penyaluran kredit Bank BJB tumbuh 14,7 persen yoy. Sejumlah segmen kredit menjadi motor pendorong, seperti UMKM yang naik 32 persen, korporasi dan komersial 39 persen, serta KPR 17 persen.
“Untuk sisi penyumbang laba, selain kredit kami juga gencar melakukan penetrasi dalam ekosistem transaksi digital yg mendorong perolehan fee based income, sehingga dapat membantu perolehan laba perseroan,” pungkasnya.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BBTN Haru Koesmahargyo mengatakan bahwa permintaan terhadap pembiayaan rumah masih akan terus ada, meski saat ini kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat tertekan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi.
Keyakinan itu berlandaskan data Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan angka backlog perumahan saat ini mencapai 12,75 juta unit. Kendati demikian, Haru menyatakan seluruh kebutuhan itu tidak dapat langsung terkonversi menjadi permintaan KPR.
Bank BTN sampai saat ini memproyeksikan pertumbuhan kredit mampu tumbuh 9 persen yoy sepanjang 2022. Haru optimistis apabila kondisi ekonomi membaik dan inflasi mampu ditekan, penyaluran kredit tahun depan dapat tumbuh di atas 9 persen.