Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan pembiayaan ultra mikro pelat merah PT Permodalan Nasional Madani (PNM) turut mendapat sorotan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hal pengelolaan klaim asuransi kredit dari nasabah-nasabah yang macet.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) BPK Semester I/2022 dalam Bab Pemeriksaan BUMN dan Badan Lainnya, pengawasan terhadap PNM terbilang penting karena merupakan satu-satunya entitas yang mendapatkan subsidi bunga UMKM program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Non-KUR.
Namun, perusahaan anggota BUMN Holding Ultra Mikro ini tercatat hanya mendapat sorotan minor, yaitu terkait pengelolaan klaim asuransi kredit nasabah Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) yang dinilai kurang memadai.
"Pengajuan klaim asuransi kredit atas 10.856 nasabah Makaar sebesar Rp12,00 miliar ditolak oleh perusahaan asuransi, dan pengajuan klaim asuransi kredit sebesar Rp13,45 miliar masih dalam proses pemenuhan dokumen klaim dan berpotensi kedaluwarsa," tulis BPK, dikutip Sabtu (8/10/2022).
Menurut BPK, fenomena ini jelas berpeluang mengakibatkan kerugian bagi PNM. Pasalnya, klaim asuransi kredit merupakan penjaga gawang terakhir untuk mencegah kerugian dari kredit macet. Terlebih, bukan tak mungkin klaim asuransi kredit berpotensi kedaluwarsa jika melewati hari klaim.
"BPK merekomendasikan Direksi PNM agar memberikan pembinaan kepada pejabat terkait atas ketidakoptimalan ini, serta membangun sistem pengajuan klaim secara host-to-host antara PNM dengan perusahaan perantara asuransi dan perusahaan asuransi, sehingga dapat dilakukan pemantauan pada setiap tahap proses asuransi," tambah BPK.
Baca Juga
Bisnis telah melakukan konfirmasi dengan Direktur Utama PNM Arief Mulyadi, yang menyebut bahwa saran BPK terbilang relevan dan PNM terus memproses dan menindaklanjuti permasalahan ini.
Pasalnya, Arief menjelaskan keadaan ini juga merupakan buah dari faktor eksternal, di mana perusahaan asuransi tengah kebanjiran klaim asuransi Kredit dari lembaga keuangan, seiring melonjak non-performing loan (NPL) yang secara umum merupakan akibat dampak pandemi Covid-19.
"Kami sudah menerima saran BPK dan kami akui rekomendasi ini sangat konstruktif. Jadi tim PNM pun menindaklanjutinya ke para perusahaan asuransi, karena sebenarnya nilai klaim [asuransi kredit] kami ini terbilang kecil buat mereka. Kondisinya saja yang membuat proses lebih lama, dan buat kami pun yang penting ada komitmen pembayaran terlebih dahulu," ujar Arief kepada Bisnis.
Arief menekankan bahwa pihaknya menggandeng lebih dari satu perusahaan asuransi yang menjadi mitra, baik perusahaan asuransi umum pelat merah maupun swasta, dan tidak semuanya menolak atau menunda pembayaran klaim program Mekaar.
Terlebih, sebelum sampai mengajukan klaim asuransi kredit pun, PNM senantiasa menyisihkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) secara terukur sesuai ketentuan.
PNM pun berkomitmen menjalankan tugas pembinaan para pelaku usaha mikro, tak sekadar meminjamkan uang. Program Mekaar pun menggunakan sistem tanggung-renteng, di mana pembinaan dilakukan secara berkelompok, yang salah satunya berguna untuk meminimalkan potensi kredit macet dari satu-dua nasabah.
"PNM dengan para mitra perusahaan asuransi pun tidak saling menyalahkan. Hubungan kami baik. Tapi memang keadaan pandemi Covid-19 kemarin membuat semuanya serba sulit. Sekarang ini, PNM yakin mayoritas nasabah Mekaar sudah pulih dan tergolong tidak terlalu terdampak gejolak perekonomian ke depan," tambahnya.
Adapun, jumlah nasabah Mekaar yang pinjamannya macet sampai tak tertolong lagi sehingga PNM terpaksa mengajukan klaim asuransi kredit, sebenarnya terbilang mini. Sebagai gambaran, per September 2022 jumlah nasabah PNM Mekaar telah menembus 12,89 juta.
Sepanjang tahun berjalan, PNM telah menyalurkan pinjaman Rp45,44 triliun untuk program Mekaar dan Rp801 miliar untuk program ULaMM. Pinjaman outstanding tersisa kedua program masing-masing Rp33,89 triliun dan Rp5,47 triliun, dengan tingkat kredit macet konsolidasi yang masih terjaga di 0,58 persen saja.