Bisnis.com, JAKARTA – Proses pelaksanaan rights issue PT Bank Syariah Indonesia Tbk. atau BSI (BRIS) diklaim mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribe hingga 1,4 kali. Tuntasnya aksi korporasi ini akan menjadi modal kuat bagi BSI untuk mendorong pembiayaan ke depan.
BSI diketahui menggelar aksi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) atau rights issue sebanyak-banyaknya 4,99 miliar saham baru seri B. Harga pelaksanaan aksi ini ditetapkan Rp1.000 per lembar saham, sehingga dana yang diterima perseroan Rp5 triliun.
Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan selain berhasil meningkatkan free float sesuai dengan ketentuan, aksi korporasi ini juga menunjukan kepercayaan investor yang semakin kuat terhadap kinerja fundamental perseroan.
“Rights issue yang kami lakukan berjalan lancar dan penyerapan saham oleh investor institusi baik domestik maupun asing serta publik sangat baik,” ujar Hery melalui keterangan tertulis pada Senin (26/12/2022).
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) selaku pemilik 50,83 persen saham BSI melaksanakan seluruh haknya. Adapun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. dengan kepemilikan 24,85 persen saham perseroan melaksanakan sebagian haknya atau 500 juta saham.
Hery menambahkan proses aksi rights issue telah menuju tahap akhir. Harapannya, langkah tersebut dapat memperkuat struktur permodalan dengan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sekitar 20 persen.
“Sehingga, selain setingkat dengan rata-rata industri perbankan juga dapat menopang pertumbuhan pembiayaan dan layanan keuangan syariah yang semakin tumbuh pesat,” tuturnya.
Di sisi lain, penerbitan saham baru BSI diyakini oleh sejumlah pihak dapat menjadi bahan bakar perseroan untuk menggenjot pembiayaan ke depan. Aksi korporasi juga dinilai mampu menjaga kinerja dari emiten bersandi BRI ini di tengah ancaman perlambatan ekonomi global pada 2023.
Secara terpisah, peneliti ekonomi syariah dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fauziah Rizki Yuniarti mengatakan aset dan modal merupakan bensin bank untuk melaju kencang. Apabila bank memiliki modal yang kecil, maka ruang gerak inovasinya terbatas.
Dari sisi permintaan, bank syariah memiliki untapped market yang terbilang besar. Selain itu bonus demografi usia produktif, likuiditas golongan menengah ke atas, dan gaya hidup halal akan menjadi stimulus positif bagi kinerja bank syariah.
“Dari sisi suplai, BSI sebagai bank syariah terbesar juga semakin agresif memasarkan produk dan jasa perbankannya,” tutur Fauziah.
Tingginya pasar yang belum tergarap perbankan syariah tercermin dalam indeks inklusi keuangan syariah yang dirilis OJK Kendari naik dari 9,1 persen pada 2019 menjadi 12,12 persen tahun 2022, akses masyarakat terhadap produk finansial berbasis syariah masih tertinggal.
Secara total industri, inklusi keuangan pada 2022 mencapai 85,1 persen. Artinya, kata dia, sudah sebagian besar masyarakat di Tanah Air memiliki akses terhadap layanan keuangan konvensional.
Selain pasar yang belum tergarap, BSI juga memiliki keunggulan sebagai bank syariah terbesar dari segi aset dan jaringan. Per September 2022, bank hasil gabungan anak usaha Bank Mandiri, BNI, dan BRI ini memiliki total aset senilai Rp280 triliun, jauh di atas bank syariah lainnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan bahwa kondisi pembiayaan syariah diperkirakan tidak akan banyak terdampak oleh resesi global yang bisa mempengaruhi perlambatan ekonomi Tanah Air tahun depan.
Menurutnya Indonesia diuntungkan oleh tingginya harga barang-barang komoditas sehingga membantu pulihnya ekonomi seiring meredanya pandemi Covid-19.
Dengan kondisi tersebut, Piter memprediksi permintaan terhadap pembiayaan bank syariah akan tumbuh secara berkelanjutan pada tahun depan. “Seharusnya bank-bank syariah mampu memacu pertumbuhan kreditnya lebih tinggi,” ujarnya menegaskan.