Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) menilai bahwa neraca transaksi berjalan pada 2023 akan berubah menjadi defisit karena pemulihan ekonomi memicu impor yang tinggi.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, usai Bank Indonesia (BI) mengumumkan kenaikan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basis poin. Suku bunga kini berada di 5,75 persen atau yang tertinggi sejak Juli 2019.
Asmo menilai bahwa kinerja ekspor relatif akan menurun pada 2023 karena harga komoditas yang mulai loyo. Penyebabnya, tekanan ekonomi dan pengetatan moneter untuk melawan inflasi membuat permintaan global melambat tahun ini.
Di sisi lain, BMRI meyakini bahwa pertumbuhan impor akan lebih tinggi daripada ekspor seiring pemulihan ekonomi. Permintaan domestik yang meningkat membuat kebutuhan impor naik, baik bahan baku maupun barang jadi.
"Kami memperkirakan neraca transaksi berjalan pada 2023 akan berubah menjadi defisit, yang dapat dikelola sekitar 1,10 persen dari produk domestik bruto [PDB]," ujar Asmo pada Kamis (20/1/2023).
Menurutnya, pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) turut berpengaruh terhadap kenaikan konsumsi domestik, sehingga memicu pemulihan ekonomi. Selain itu, upaya mendorong hilirisasi industri dan melanjutkan Proyek Strategi Nasional (PSN) juga turut mendorong perekonomian.
Meskipun begitu, Asmo menilai bahwa inflasi masih akan bergerak di atas 4 persen pada semester I/2023 ketika pemulihan ekonomi terjadi. Alasannya, inflasi tidak akan turun cepat dari posisi akhir 2022 di 5,51 persen.
"Kami masih memperkirakan inflasi domestik akan tetap berada di atas batas atas kisaran target 2 persen—4 persen, setidaknya hingga semester pertama tahun 2023," ujar Asmo pada Kamis (19/1/2023).