Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending yang melayani sektor tertentu memiliki risiko besar.
OJK menjumpai karakteristik bahwa kebanyakan penyelenggara hanya fokus untuk melayani sektor-sektor tertentu saja, misalnya pertanian, perdagangan ritel, properti, pendidikan, dan UMKM untuk para ibu-ibu.
“Terfokusnya layanan pada suatu sektor tertentu memiliki risiko yang relatif besar melekat pada sektor tersebut, apabila misalnya sektor tersebut sedang tidak stabil maka dapat memengaruhi kinerja pendanaan penyelenggara P2P lending yang melayani sektor tersebut,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono dalam keterangannya dikutip Minggu (9/7/2023).
Ogi mengatakan OJK tidak mengarahkan penyelenggara untuk melayani pendanaan pada sektor tertentu. Idealnya, lanjut Ogi, penyelenggara perlu melakukan penilaian risiko atas sektor yang dilayaninya yang kemudian didukung dengan analisis penilaian kelayakan pinjaman yang cocok serta memadai.
Dia menambahkan OJK juga mendorong para penyelenggara baik secara satu per satu maupun berkelompok melalui Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) agar dapat memperluas kerja sama kepada berbagai pihak.
“Dengan demikian layanan dapat terus diperluas dan memperkuat manajemen risiko sehingga meminimalisir dampak dari risiko sektoral maupun risiko gagal bayar dikemudian hari,” katanya.
Dalam catatan Bisnis, platform P2P lending yang fokus melayani bidang pertanian, Tanifund, memiliki masalah terhadap kredit macet dengan tingkat wanprestasi (TWP90) mencapai 36,07 persen.
OJK juga menyampaikan bahwa sudah tidak bisa dan tidak mampu menyelesaikan action plan. “TaniFund sudah angkat tangan. Jadi, mereka memang sudah tidak bisa menyelesaikan action plan apapun dan tidak mampu,” kata Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Triyono dalam acara AFTECH X Investree Media Luncheon: Diskusi Industri Fintech Lending di Indonesia yang digelar pada Kamis (8/6/2023).
Terbaru PT iGrow Resources Indonesia (iGrow) juga mengalami gagal bayar. Sebanyak 40 pemberi pinjaman (lender) melayangkan gugatan kepada platform P2P lending pertanian tersebut dengan total nilai Rp503,18 miliar.
Pengacara penggugat Rifqi Zulham mengatakan nilai Rp503,18 miliar itu terdiri dari dua gugatan, yakni nilai kerugian material dan immaterial. “Nilai kerugian materil ke-40 lender berupa uang yang telah diserahkan dan diterima oleh iGrow senilai Rp3,18 miliar,” kata Rifqi kepada Bisnis, Kamis (22/6/2023).
Sementara, untuk kerugian immateril para pemberi pinjaman, imbuh Rifqi, di antaranya meliputi manfaat margin yang seharusnya diterima oleh para lender, waktu, tenaga, pikiran, psikis, dan kerugian lain diajukan sebesar Rp500 miliar.