Bisnis.com, JAKARTA - Melkianus Lubalu, seorang tamatan SMP, barangkali tidak menyangka kehidupannya mampu lepas dari kubangan kemiskinan. Profesi awalnya hanya seorang kernet truk, namun saat ini menjadi pengusaha sukses di Nusa Tenggara Timur.
Bermodal awal dari pinjaman bank Rp2 juta untuk usaha, lalu dengan kerja keras lambat laun usahanya terus berkembang hingga beromzet miliar rupiah. Di hari perayaan unit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tahun lalu, media online Kompas.com mengangkat kisah inspiratifnya itu.
Perubahan kehidupan dari kondisi miskin menjadi lebih baik itulah yang menjadi niat mulia dari keuangan inklusi. Dengan keuangan inklusi, maka akses terhadap produk dan layanan keuangan terbuka lebar, sehingga setiap masyarakat dapat menggunakannya. Masyarakat bawah dapat menabung atau memperoleh pembiayaan untuk usaha, sehingga taraf kehidupan mereka akan semakin membaik.
Upaya untuk mendongkrak keuangan inklusi kian kuat selaras dengan disahkannya Undang-Undang No.4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). UU itu telah mengamanatkan secara penuh kepada Bank Indonesia (BI) untuk meningkatkan keuangan inklusi. Amanat ini merupakan bagian dari tugas BI dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial sebagaimana tertuang dalam pasal 8 UU P2SK tersebut.
Pada sisi lain, keuangan inklusi juga sudah menjadi tren global. Banyak negara berusaha meningkatkan tingkat keuangan inklusinya. Hal ini tidak lepas dari manfaat dari keuangan inklusi yang mampu menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Kepemimpinan Indonesia dalam pertemuan akbar G20 tahun 2022 dan ASEAN tahun 2023 juga mengangkat isu tentang keuangan inklusi.
Bagi Indonesia pembiayaan inklusif, terutama dalam bentuk kredit kepada UMKM memang sangat penting. Pasalnya, pelaku ekonomi kelas wong cilik itu berperan signifikan dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) per Maret 2021, jumlah UMKM telah mencapai 64,2 juta dengan kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 61,07%. Bahkan, pada krisis ekonomi 1997/1998, UMKM menjadi penyelamat ekonomi nasional.
Baca Juga
Namun dibalik peran vital UMKM itu, terdapat salah satu persoalan klasik yang dihadapi UMKM yaitu soal pendanaan. Kondisi itu diakui Bank Dunia yang menyatakan bahwa akses terhadap keuangan merupakan kendala utama bagi pertumbuhan UMKM. BI juga mengamini dengan melansir data bahwa 69,5% pelaku UMKM belum menerima kredit dan 43,1% di antaranya membutuhkan kredit. Potensi permintaan kredit dari jumlah itu sungguh besar Rp1.605 triliun, terdiri dari usaha mikro Rp331 triliun, usaha kecil Rp534 triliun, dan usaha menengah Rp740 triliun.
Untuk memenuhi pembiayaan kepada UMKM, dibutuhkan keberpihakan yang kuat dari perbankan Indonesia sebagai institusi keuangan utama penyedia pembiayaan. Hal ini yang lantas menginisiasi BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mendorong bank untuk menyalurkan kredit UMKM pada 2012 yang kemudian diubah pada 2015.
Namun, kebijakan BI tersebut dirasakan masih belum optimal. Hal ini karena pembiayaan UMKM yang dapat dilakukan bank masih terbatas pada penyediaan pembiayaan secara langsung dan/atau secara tidak langsung kepada UMKM melalui kerja sama pola executing, channeling, dan pembiayaan bersama. Bagi bank yang fokus pada UMKM, seperti BRI, tentu bukan perkara sulit. Namun, hal itu menjadi kendala besar bagi bank yang tidak memiliki keahlian di UMKM atau model bisnisnya yang tidak pada segmen UMKM.
Oleh karena itu, pada 2021 dan 2022, BI kembali menyempurnakan kebijakannya melalui ketentuan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM). Melalui ketentuan RPIM itu, BI berupaya meningkatkan inklusi ekonomi dan keuangan, serta memperkuat peran UMKM dalam pemulihan ekonomi nasional dengan menyediakan berbagai alternatif pembiayaan dengan cara memperluas cakupan pembiayan inklusif makroprudensial.
Dengan begitu perbankan memiliki opsi yang lebih banyak untuk turut berkontribusi dalam pembiayaan UMKM, perseorangan berpenghasilan rendah (PBR), dan pembiayaan inklusif lainnya, secara langsung ataupun tidak langsung. Adapun beberapa perluasan opsi itu sebagai berikut.
Pertama, bank dapat memberikan pembiayaan secara rantai pasok kepada badan usaha non-UMKM selain lembaga jasa keuangan. Dengan catatan, dana yang diterima badan usaha itu akan disalurkan untuk membiayai UMKM dan/atau PBR yang menjadi pemasok, distributor, dan/atau mitra dari badan usaha tersebut.
Kedua, bank dapat memberikan pembiayaan melalui lembaga keuangan atau badan layanan yang menyalurkan kredit kepada UMKM, seperti BPR/BPRS, teknologi finansial, perusahaan pembiayaan, modal ventura, Perusahaan Nasional Madani (PNM), dan pegadaian.
Ketiga, pembiayaan melalui pembelian surat berhaga pembiayaan inklusif yang diterbitkan pemerintah, BI, bank, atau lembaga dan/atau badan usaha yang memiliki program atau proyek pengembangan UMKM, PBR, dan/atau pembiayaan inklusif di Indonesia. Sebagai contoh, bank dapat membeli surat berharga yang diterbitkan PNM atau Pegadaian yang memang fokus memberikan pembiayaan kepada UMKM.
Selain mampu mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan pendapatan, pembiyaan inklusif sejatinya juga dapat menyehatkan perbankan. Hal ini karena pembiayaan inklusif umumnya dalam jumlah yang kecil (retail) namun dengan debitur yang banyak dan tersebar luas. Hal ini meniadakan konsentrasi kredit sehingga bank terhindar dari potensi peningkatan risiko kredit. Di samping itu, pembiayaan inklusif secara tidak langsung juga membantu terjaganya stabilitas sistem keuangan. Karena perbankan sehat, ekonomi tumbuh dan tersebar luas di masyarakat, maka kestabilan sistem keuangan juga akan terjaga.
Untuk mendorong bank lebih bersemangat dalam menyalurkan pembiayaan inklusif, BI tak lupa memberikan insentif dalam bentuk pelonggaran giro wajib minimum (GWM). Besar insentifnya paling tinggi 1% disertai dengan penambahan kelompok bank berdasarkan pencapaian RPIM, yaitu di atas 30% - 50%, dan di atas 50%.
Kendati begitu, untuk efektifitas penyaluran pembiayaan inklusif, dibutuhkan sinergi dan kolaborasi dengan pemerintah, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kekuatan kebersamaan dan kegotongroyongan yang dijalin antar otoritas keuangan (The Power of We) menjadi kunci tercapainya target keuangan inklusi di Indonesia.
Mengambil pengalaman saat awal terjadinya pandemi Covid-19 Maret 2020, pemerintah bersama BI, OJK dan dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) saling bahu membahu merespon melalui berbagai kebijakan sesuai kewenangannya masing-masing yang satu sama lain saling menguatkan. Tidak heran, meski sempat mengalami kontraksi, namun lambat laun ekonomi Indonesia rebound dan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang terbaik saat pandemi.