Bisnis.com, JAKARTA – Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) akan menjadi salah satu instrumen untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang terus tertekan akibat menguatnya dolar Amerika Serikat (AS).
SRBI dalam pengumuman Bank Indonesia akan dilelang pada pertengahan September 2023 mendatang. Surat berharga ini merupakan surat utang jangka pendek Bank Indonesia dengan jaminan SBN yang dibeli dari pemerintah. BI menyebut memiliki SBN lebih dari Rp1.000 triliun. Surat utang ini diizinkan dibeli oleh warga negara asing maupun masyarakat luas.
Kepala Ekonom Bank Permata melihat penerbitan SRBI mampu mendukung nilai tukar rupiah di tengah kenaikan imbal hasil US Treasury (UST) dan tren penguatan dolar AS.
“Dengan terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah maka diharapkan potensi imported inflation juga cenderung akan terbatas. Sehingga ekspektasi inflasi cenderung akan terjangkar yang selanjutnya akan mendukung momentum pertumbuhan ekonomi domestik,” ujarnya, Senin (28/8/2023).
Menurut Josua, BI menerbitkan SRBI sebagai upaya untuk mengelola kurva imbal hasil obligasi Indonesia. Dengan strategi ini, imbal hasil obligasi jangka pendek menjadi lebih tinggi dari level saat ini.
Baca Juga
Hasilnya, strategi berpotensi untuk menarik minat investor, terutama asing, untuk masuk ke obligasi jangka pendek.
Selain itu, juga dalam rangka mendukung cadangan devisa mengingat rencana pembiayaan APBN 2023 ini diperkirakan akan lebih efisien, termasuk terbatasnya penerbitan obligasi global.
Kondisi neraca APBN per 31 Juli 2023 tercatat masih surplus Rp153,5 triliun dan realisasi pembiayaan sebesar Rp163,9 triliun serta pemanfaatan SAL 2022 yang mencapai Rp 478,95 triliun. Hal ini menjadi pertimbangan penerbitan SRBI tersebut.
Dengan cadangan devisa yang meningkat, hal ini dapat mendukung nilai tukar rupiah di tengah kenaikan imbal hasil UST dan tren penguatan dolar AS.
Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Dony Hutabarat menyampaikan saat ini terdapat instrumen yang terus menurun dalam pasar uang RI, terutama negotiable certificate of deposit (NDC).
“Oleh karena itu, BI melihat bahwa kita harus membuat sebuah instrumen yang bisa diperdagangkan di pasar yang bisa menjadi solusi dari pengelolaan likuiditas antar pelaku pasar, bahkan bisa dipindahtangankan antarpelaku pasar domestik dan asing,” ujarnya dalam Taklimat Media, Senin (28/8/2023).
Alhasil, dengan SRBI yang dapat diperdagangkan dengan asing akan membantu modal asing masuk atau inflow valas ke Indonesia. Harapannya, akan menjadi instrumen untuk menjaga stabilitas rupiah.
Dampak SRBI Menurut Ekonom BCA
Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual menyampaikan dengan adanya SRBI akan jadi tambahan variasi instrumen yang berguna untuk mengimplementasikan kebijakan moneter BI yang juga diharapkan bisa menarik modal asing dan menambah cadangan devisa.
Stabilitas finansial dan moneter diharapkan bisa tetap terjaga dengan tambahan instrumen moneter, sementara pertumbuhan ekonomi juga bisa didorong ke arah pertumbuhan potensialnya.
“Untuk Rupiah diharapkan juga bisa lebih stabil. Untuk levelnya akan jadi berapa sulit diperkirakan, yang penting stabilitasnya. Indeks volatilitasnya diharapkan jadi lebih baik,” ujarnya.
Berdasarkan asesmen BI, peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan nilai tukar Rupiah pada Agustus 2023 (sampai dengan 23 Agustus 2023) secara point-to-point melemah sebesar 1,41 persen dibandingkan dengan akhir Juli 2023.
Sementara secara year-to-date (ytd), rupiah tercatat masih menguat sebesar 1,78 persen dari level akhir Desember 2022.
Bahkan, bila membandingkan dengan Rupee India yang menguat 0,07 persen, rupiah mengalami apresiasi yang lebih tinggi. Sedangkan Baht Thailand dan Peso Filipina yang masing-masing mengalami depresiasi sebesar 1,31 persen dan 1,77 persen.
“Alhamdulillah rupiah kita meskipun agak melemah di saat seluruh dunia melemah, tapi pelemahan kita rendah,” jelasnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (24/8/2023).
Meski demikian, BI memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui pilar I, yakni intervensi di pasar valas dengan fokus pada transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).