Bisnis.com, JAKARTA –– Bisnis pembiayaan di Asia Tenggara diyakini masih prospek. Pasalnya kawasan yang dihuni 650 juta jiwa ini khusus untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah saja membutuhkan tambahan pembiayaan US$300 miliar atau butuh tambahan Rp4.597 Triliun setiap tahunnya.
Wakil Menteri BUMN Rosan Roeslani menyampaikan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah di Asean mengalami kekurangan pendanaan hingga US$300 miliar setiap tahunnya.
“Sekitar 39 juta dari 70 juta UMKM menghadapi kekurangan pendanaan yang cukup besar dengan nilai US$300 miliar setiap tahunnya,” kayanya dalam Asean-Indo-Pacific Forum (AIPF) Day 2 di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Di samping itu, Rosan mengatakan bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan transaksi dan menggunakan jasa layanan bank tercatat masih rendah dengan persentase penduduk hingga 70 persen belum menggunakan layanan perbankan.
Di sisi lain, menurutnya munculnya layanan keuangan digital membuka jalan sehingga menjembatani kesenjangan keuangan khususnya bagi yang belum memiliki rekening bank, belum memakai jasa layanan perbankan, dan juga bagi UMKM yang sebelumnya mungkin dinilai unbankable.
Pada periode 2011 hingga 2022, pemain teknologi finansial di Indonesia meningkat enam kali lipat dari semula 51 pemain menjadi 334 pemain aktif.
Baca Juga
Sementara itu, 33 persen penduduk memilih e-wallet sebagai metode pembayaran default mereka pada 2021. Hal ini sekaligus menempatkan Indonesia sejajar dengan beberapa negara maju di Asia.
“Transisi Indonesia menuju ekonomi digital terlihat jelas dengan melonjaknya pembayaran non-tunai dari US$813 juta menjadi US$26,2 miliar pada 2017 hingga 2022. Transisi menuju ekosistem transaksi digital yang berkembang pesat ditunjukkan dengan nilai transaksi pembayaran digital, yang tumbuh dari US$206 miliar pada 2019 menjadi US$266 miliar pada 2022,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rosan mengatakan bahwa BUMN juga memegang peranan penting dalam mendorong inklusi keuangan melalui keuangan digital khususnya di kota-kota yang kurang terjangkau.
“Selama beberapa tahun terakhir, BUMN telah meningkatkan katalis, memulai inisiasi yang visioner dan membentuk kolaborasi yang strategis untuk mentransformasi layanan keuangan digital Indonesia dalam berbagai aspek,” katakana.
Dia menambahkan, lanskap pinjaman digital juga pun diperkirakan akan tumbuh secara signifikan pada 2030. Menghadapi fenomena tersebut, imbuhnya bank-bank BUMN kini berfokus pada tiga transformasi yang mencakup pinjaman digital, pembayaran digital (e-wallet), dan perbankan digital.
Dalam hal ini, BRI, Bank Mandiri, dan Bank BNI telah meluncurkan platform pinjaman digital yang memungkinkan individu yang tidak memiliki riwayat pinjaman dapat mengakses layanan keuangan secara digital.
Inisiatif ini kata Rosan memberikan dampak yang signifikan terhadap inklusi keuangan, misalnya pinjaman digital BRI yang tumbuh 146 persen dalam waktu 1 tahun di periode 2021 hingga 2022 dengan nilai pinjaman US$125juta kepada jutaan peminjam dalam tiga kuartal pertama di 2022.
“Kemudian, untuk pembayaran digital [e-wallet], beberapa BUMN juga telah memperluas layanan pembayaran melalui platform e-money bagi pelanggan. Terakhir, untuk perbankan digital, Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN telah membangun solusi perbankan digital, salah satunya mobile banking BNI yang telah tumbuh 59,6 persen year-on-year menjadi 7,8 juta pengguna pada 2020,” jelas Rosan.