Di sisi lain, Erwin menuturkan bahwa tantangan pengelolaan perasuransian syariah terletak di beberapa faktor, salah satunya adalah pengelolaan sumber daya insani. Diyakini kelangkaan pekerja yang kompeten (scarcity of talent) menjadi salah satu faktor perusahaan tidak atau belum mampu menghasilkan produk asuransi syariah yang bukan sekadar meniru dari produk asuransi konvensional.
Selain itu, kendala kemampuan membayar juga menjadi faktor tantangan di industri ini untuk dapat merekrut talenta terbaik. Terlepas dari segala tantangan, AASI memproyeksikan bisnis asuransi syariah masih menjanjikan.
“Bicara prospek bisnis perasuransian syariah ke depannya, tentunya masih sangat menjanjikan dengan luasnya room for improvement,” lanjutnya.
Hal ini terlihat dari langkah pemerintah yang mulai melirik asuransi syariah, mulai dari keterlibatan dalam menjamin barang milik negara. Apabila ke depan, kata Erwin, pemerintah dengan kemampuan mengatur regulasi dan mengembalikan porsi asuransi syariah dalam tatanan ekosistem halal maka industri ini akan terus melaju.
"Industri asuransi syariah akan berkembang dengan sendirinya, tanpa perlu melakukan ‘kabinalisme’ terhadap bisnis konvensional,” pungkasnya.
Senada, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Taim melihat potensi bisnis asuransi syariah ke depan masih sangat besar. “Tinggal sejauh mana komitmen perusahaan asuransi syariah untuk mengembang usahanya, tentu dengan dukungan dan kepastian aturan dari OJK,” tuturnya.
Baca Juga
Adapun tantangan yang dihadapi asuransi syariah adalah belum banyaknya pelaku industri, masyarakat serta pembuat kebijakan yang memahami industri ini, salah satunya karena masih berpacu pada ekosistem yang cenderung mirip dengan produk asuransi konvensional.
“Produk asuransi syariah yang ditawarkan mirip dengan asuransi konvensional. Jadi seperti tidak ada perbedaan antara konvensional dan syariah,” tutup Abitani.