Bisnis.com, JAKARTA — Terik panas nan menyengat mulai terasa di permukaan kulit. Bahkan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi kemarau akan terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia pada bulan ini.
BRIN menyebut bahwa kondisi ini terjadi karena puncak dua fenomena iklim, El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) akan mencapai puncaknya pada Oktober. Tak tanggung-tanggung, beberapa wilayah diberi peringatan dini potensi kekeringan di awal Oktober. Wilayah yang terdampak kekeringan, meliputi Sumatra bagian tengah hingga selatan, pulau Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku, dan Papua bagian selatan.
Bahkan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan cuaca panas atau suhu maksimum harian di Indonesia 35,2 derajat Celcius—38,7 derajat Celcius. Dalam unggahan BMKG di akun Instagram resminya @infobmkg, suhu maksimum ini berlaku untuk 9 Oktober—10 Oktober 2023 pukul 07.00 WIB.
Data tersebut menunjukkan bahwa Stasiun Meteorologi Kertajati memiliki cuaca terpanas yang mencapai 38,7 derajat Celcius. Mengekor, Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II dengan suhu mencapai 37,4 derajat Celcius dan Stasiun Klimatologi Jawa Tengah dengan suhu 37 derajat Celcius.
HAMA DAN PENYAKIT
Direktur Ekonomi Digital dan Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memandang asuransi pertanian merupakan hal yang sangat penting bagi petani. Sebab, saat ini sering terjadi anomali iklim.
“Musim panas berkepanjangan, hingga perubahan cuaca yang menyebabkan serangan hama . Ketidakpastian ini bisa diminimalisir dampaknya dengan asuransi pertanian,” kata Huda kepada Bisnis, Selasa (10/10/2023).
Dengan asuransi untuk mengantisipasi gagal panen, Huda menjelaskan bahwa para penanam padi ini masih bisa mendapatkan modal untuk bertanam kembali. Sejalan dengan kemarau terik yang diprediksi BRIN, Huda memproyeksi klaim asuransi pertanian akan meningkat, namun relatif kecil.
“Mengingat petani kita yang punya asuransi juga masih relatif sedikit. Ada kenaikan tapi nggak akan sampai merugikan pihak asuransi,” ujarnya.
Belum lama ini, Lembaga riset Indonesia Financial Group (IFG) Progress juga menyoroti cuaca ekstrem di Indonesia yang bisa memicu penurunan produktivitas pertanian karena berujung gagal panen.
Senior Executive Vice President (SEVP) IFG Progress Reza Y Siregar mengatakan bahwa saat ini Indonesia tengah dihadapi masalah ketahanan pangan (food securities issue) yang membuat stok beras tidak melimpah.
“Saat ini kondisi hawa panas ini membuat produktivitas sektor pertanian kita menurun dan tidak menghasilkan penghasilan beras seperti yang kita butuhkan,” ujar Reza dalam acara bertajuk IFG International Conference 2023 di Jakarta, beberapa waktu lalu (13/9/2023).
Reza menyebut bahwa saat kondisi normal, stok beras yang dibutuhkan mencapai 1,2 juta ton. Namun, saat kondisi cuaca ekstrem melanda, maka tanah menjadi kering dan berakibat gagal panen.
“Kalau petani menanam dan gagal, Bisa nggak mengatasi itu? Di sana ada modal yang hilang. Belum tentu dia punya uang untuk menanam ulang kembali. Tapi kalau ada asuransi, sebagian besar dari cost awal itu bisa diasuransikan,” ungkapnya.
Reza menilai petani membutuhkan asuransi untuk memitigasi peristiwa gagal panen. Menurutnya, kondisi seperti ini menjadi tantangan ekonomi dan industri asuransi bisa membantu masalah ketahanan pangan.
“Jadi kalau gagal tanam karena kemarau atau wabah, itu bisa diasuransikan. Asuransi bisa membantu petani untuk memulai kembali, karena kalau tidak dia setop,” katanya.
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyebut permintaan terhadap asuransi pertanian mulai meningkat karena pelaku agribisnis atau petani sudah mulai memahami manfaat dari asuransi.
Direktur Eksekutif AAUI Bern Dwiyanto mengatakan bahwa petani khawatir akan dampak musim kemarau berkepanjangan yang akan menyebabkan kerusakan tanaman yang dibudidayakan di lahan terbuka, baik pertanian maupun perkebunan.
Sayangnya, Bern menuturkan bahwa sampai saat ini produksi asuransi pertanian Indonesia masih sangat sedikit. Imbasnya, asosiasi tidak mengetahui secara pasti kenaikan klaim asuransi pertanian secara nasional.
“Namun demikian, secara potensi, setiap kali terjadi kemarau panjang maka usaha budidaya pertanian para petani yang dilakukan di lahan terbuka dan dijalankan tanpa dilakukan modifikasi strategi mitigasi risiko, akan memicu kemungkinan gagal panen, sehingga secara mengakibatkan klaim akan naik,” ungkap Bern kepada Bisnis.
Menurut Bern, perusahaan asuransi perlu melakukan pengelolaan risiko akan adanya potensi lonjakan klaim asuransi pertanian akibat fenomena peningkatan suhu panas. Di antaranya, dengan mengatur penempatan reasuransi dan menerapkan manajemen risiko saat melakukan seleksi risiko sebelum menerbitkan polis asuransi.
Bern menambahkan, perusahaan asuransi juga perlu memastikan petani dan para pemangku kepentingan terkait membentuk ekosistem budidaya pertanian. Selain itu, setiap pihak melakukan mitigasi risiko sesuai kapasitas masing-masing sehingga akan menurunkan potensi kerusakan atau kematian tanaman. Serta, antisipasi sejauh mana petani disiplin menerapkan praktik pertanian yang benar sesuai arah.
“Hal terakhir adalah kesiapan petugas klaim untuk menangani laporan klaim, sehingga proses pengumpulan data-data kegagalan panen berjalan lancar, termasuk analisa kelaikan klaim terutama jika lokasi yang dilaporkan berada di tempat yang jauh atau terpencil,” ujarnya.
Di samping itu Bern menilai bahwa fenomena kemarau ini juga berdampak pada meningkatnya potensi munculnya penyakit-penyakit non-generatif, misal munculnya nyamuk yang membawa vektor virus demam berdarah, sehingga akan meningkatkan kebutuhan akan asuransi kesehatan.
PERTANIAN BERDAMPAK
PT Asuransi Jasa Indonesia atau Asuransi Jasindo memandang fenomena cuaca yang terjadi saat ini seperti kekeringan, El Nino ditandai dengan perubahan suhu di Pasifik yang mempengaruhi cuaca ekstrem di banyak wilayah di dunia dan menyebabkan suhu naik, kenaikan suhu air dan udara di seluruh dunia terutama didorong oleh perubahan iklim. Hal ini yang kemudian berpotensi menyebabkan lebih banyak bencana alam terkait cuaca dan kerugian finansial.
Direktur Pengembangan Bisnis Jasindo Diwe Novara mengatakan bahwa sektor pertanian akan merasakan dampak secara langsung akibat kekeringan. Begitu pula dengan penyebaran beberapa penyakit tanaman dan biaya produksi yang akan meningkat.
“Dan yang paling serius adalah meningkatnya risiko gagal panen [Puso] yang pada akhirnya juga akan berdampak pada meningkatnya risiko objek pertanggungan,” ujar Diwe kepada Bisnis.
Untuk melindungi sektor pertanian khususnya lahan padi, Diwe menuturkan bahwa Asuransi Jasindo telah memiliki produk Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP).
Diwe menjelaskan risiko yang dijamin dalam program AUTP ini adalah kerusakan atau kerugian pada tanaman padi yang diasuransikan yang disebabkan karena banjir, kekeringan, dan/atau serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT).
Dengan demikian, petani yang terdampak akibat El Nino dan menyebabkan lahannya mengalami kekeringan, maka dapat mengajukan klaim kepada Asuransi Jasindo.
Adapun premi yang dipatok dalam program AUTP adalah sebesar Rp180.000. Bantuan premi dari pemerintah sebesar 80 persen atau Rp144.000/hektar dan petani hanya membayar 20 persen atau Rp36.000 dengan harga pertanggungan Rp6 juta/hektar untuk setiap musim tanam.
Diwe menambahkan bahwa kriteria petani yang bisa mendapatkan bantuan premi AUTP ini, yaitu petani penggarap atau petani pemilik lahan yang memiliki luas lahan maksimal 2 hektar dengan kriteria lahan irigasi, rawa pasang surut, dan lahan tadah hujan.
Sampai dengan September 2023, Jasindo mencatat klaim mengalami penurunan. Di mana, klaim yang telah diselesaikan Asuransi Jasindo sebanyak 298 juta. Sementara itu, pada periode yang sama tahun sebelumnya, klaim yang diselesaikan Asuransi Jasindo sebanyak 17.652 Ha atau 3,17 miliar.
Penurunan klaim ini diperkirakan adanya pergeseran musim tanam yang dilakukan petani untuk mengantisipasi dampak El Nino dan petani juga semakin cerdas dengan melakukan upaya preventif mencegah gagal panen.
“Namun diperkirakan klaim AUTP berpotensi meningkat seiring adanya perubahan iklim yang saat ini terjadi dan di beberapa wilayah lahan padi telah mengalami kekeringan,” ungkapnya.
Hingga akhir tahun, Asuransi Jasindo memperkirakan di sektor pertanian terdapat potensi kenaikan klaim gagal panen (Puso) akibat dari dampak El Nino. Namun, perusahaan telah melakukan upaya mitigasi risiko dengan melakukan seleksi secara ketat berdasarkan pengalaman historis penutupan AUTP selama 8 tahun ini.
“Jasindo akan melakukan mapping wilayah yang berisiko tinggi dan melakukan upaya mitigasi untuk memperkecil risiko,” tambahnya.
Bukan hanya itu, perusahaan yang didirikan pada 1973 itu juga bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten/kota untuk menyampaikan kriteria-kriteria lahan yang dapat diasuransikan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pedoman Bantuan premi AUTP, antara lain lahan yang memiliki sumber-sumber air dan berfungsi dengan baik.