Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberi sinyal penurunan suku bunga acuan atau BI rate pada semester kedua 2024.
Perry menjelaskan, penurunan suku bunga the Fed yang diperkirakan terbuka pada semester kedua 2024 menjadi salah satu faktor pertimbangan BI dalam menetapkan arah suku bunga kebijakan, tapi bukan sebagai acuan utama.
Dalam hal ini, BI akan melihat perkembangan laju inflasi dan pergerakan nilai tukar rupiah, serta risiko dari ketidakpastian global.
“Kalau kami rencanakan di semester II, bukan mengikuti FFR [Fed Funds Rate], tapi perhitungan-perhitungan seperti itu,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (21/12/2023).
Perry mengatakan, dari sisi inflasi, BI berupaya agar sasaran target 1,5-3,5% tercapai pada 2024. Dengan nilai tukar rupiah yang terjaga, maka probabilitas pencapaian target inflasi akan semakin besar, terutama dengan imported inflation yang terkendali.
“Kalau rupiah lebih cepat menguat, inflasi lebih rendah, ya ada saja ruang-ruang terbuka. Tapi, tidak akan kemudian bisa dikatakan akan oke terburu-buru,” jelasnya.
Baca Juga
Sementara itu, BI memperkirakan suku bunga the Fed, akan turun pada semester kedua 2024 sebesar 50 basis poin.
Perry mengatakan, pasar memperkirakan penurunan suku bunga the Fed kemungkinan dilakukan lebih awal, pada kuartal II/2024.
Selain itu, pasar juga melihat adanya kemungkinan FFR turun sebesar 75 basis poin tahun depan. Namun demikian, BI memandang, suku bunga the Fed akan tetap ditahan pada semester I/2024.
“Kami menangkapnya FFR sudah di peak-nya, tidak akan naik lagi dan kemungkinan semester I dipertahankan untuk ensuring AS ini soft landing,” jelasnya.
BI memperkirakan, ekonomi AS akan tumbuh lebih kuat dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya pada 2023, meski akan melambat pada 2024. Di sisi lain, laju inflasi di sektor jasa mereda, tapi masih relatif tinggi.
Dengan perkembangan tersebut, imbuh Perry, ketidakpastian pasar keuangan mulai mereda, yang tercermin dari aliran modal yang mulai kembali masuk dan menurunkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market, termasuk Indonesia.