Dorongan Tekan Backlog Hunian
Upaya perbankan memperkuat layanan digital untuk pembiayaan hunian bukan tanpa alasan. Permasalahan hunian di Tanah Air nyatanya pelik.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), masih terdapat backlog perumahan di Indonesia sebesar 12,7 juta unit. Backlog merupakan kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat.
Angka backlog hunian memang susut dalam satu dasawarsa atau sejak 2010 hingga 2020. Namun, nyatanya penyusutan backlog hunian hanya 6%.
Padahal, angka kelahiran di Indonesia tinggi. Belum lagi besarnya demografi penduduk Indonesia serta probabilitas penduduk tinggal di perkotaan yang akan mencapai 66,6% pada 2035. Hal ini akan membuat backlog perumahan menjadi masalah serius.
Sejak 18 tahun silam, ragam cara dijalankan pemerintah untuk menekan angka backlog perumahan ini, seperti dengan program Sejuta Rumah, skema pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dan lain sebagainya.
Pada 2045 mendatang, pemerintah telah menargetkan zero backlog. Ragam upaya lainnya disiapkan pemerintah, di antaranya membentuk ekosistem pembiayaan perumahan.
Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto menuturkan bahwa upaya peningkatan kepemilikan rumah dalam rangka pengentasan backlog menjadi tugas bersama, termasuk perbankan dalam rangka memfasilitasi pembiayaan.
"Tidak hanya menjadi tugas dari Pemerintah Pusat, namun juga perlu kolaborasi dari seluruh stakeholder bidang perumahan," ujarnya.
Dalam hal pembiayaan perumahan, industri perbankan seperti BTN memang mempunyai peran besar. Urusan pembiayaan hunian yang digerakkan oleh bank ini krusial, karena faktanya masih banyak masyarakat yang memanfaatkan fasilitas angsuran KPR dari bank.
Mengacu data BPS, terdapat sebanyak 36,08% rumah tangga yang menempati rumah/bangunan tempat tinggal dengan status kepemilikan milik sendiri, memperolehnya dengan cara angsuran KPR pada 2022.
Rasio Pemilikan Rumah Menggunakan KPR
Keterangan: persentase rumah tangga yang menempati rumah/bangunan tempat tinggal dengan status kepemilikan milik sendiri dan memperoleh dengan membeli dari pengembang atau bukan pengembang, melakukan pembelian rumah tersebut dengan cara angsuran KPR.
Sumber: BPS
Sementara, dalam mendongkrak pembiayaan perumahan ini, bank pun perlu dorongan, di antaranya lewat keandalan layanan digital. Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan layanan digital memang mampu menjadi motor perbankan dalam mempermudah masyarakat mengakses pembiayaan.
"Dari sisi bank, yang dapat dilakukan adalah bagaimana mempermudah masyarakat untuk mendapat akses pembiayaan KPR, seperti dengan digitalisasi," ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (23/1/2024).
Laporan bertajuk Deep Insight, Broad Solutions: How Banks Can Win in the Vast Housing Ecosystem, yang dirilis McKinsey & Company pada 2018 juga menyebutkan bahwa kemudahan akses mencari hunian menjadi krusial di era digitalisasi.
Dalam laporannya itu, bank perlu memperluas cakupan pasar melalui pembentukan ekosistem perumahan berbasis digital.
Terdapat klasifikasi rantai nilai ekosistem perumahan yang terbagi ke dalam empat kategori, yakni membeli rumah, tinggal di dalamnya, menyewa, dan menjual kembali rumah tersebut.
Adapun, McKinsey memproyeksikan bahwa seluruh rantai nilai ekosistem tersebut dapat menghasilkan US$3,8 triliun secara global pada 2025.
Lalu, pada akhirnya upaya perbankan seperti BTN dalam mengembangkan ekosistem digitalnya tidak hanya menjawab keluh kesah para pejuang cicilan macam Rohman dan Ainul. Lebih daripada itu, langkah BTN menjadi ikhtiar pengentasan sederet masalah terkait hunian di Tanah Air.