Bisnis.com, JAKARTA— Perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending PT Inclusive Finance Group (Danacita) membeberkan proses manajemen risiko pada platform hingga cara penagihan.
Direktur Danacita Harry Noviandry mengatakan dalam proses manajemen risiko, platform berusaha untuk berhati-hati dalam memberikan pendanaan.
Termasuk melihat kemampuan bayar borrower yakni mahasiwa apabila sudah bekerja atau pun wali.
“Jadi tidak serta merta langsung menyetujui dan menjerumuskan untuk mengajukan pendanaan, karena ada asesmen yang prudent dan patut pada peraturan berlaku,” kata Harry dalam acara Media Briefing Danacita di Jakarta, Jumat (2/1/2023).
Harry mengatakan apabila mahasiswa yang mengajukan pinjaman berusia di bawah 21 tahun, maka mereka harus mendapatkan persetujuan dari wali maupun kerabat terdekat dengan bukti slip gaji.
Hal tersebut untuk memastikan bahwa borrower dapat bertanggung jawab dan membayar cicilan sampai akhir tenor yang telah disetujui. Selain itu, pendanan juga langsung dikirimkan ke rekening lembaga keuangan, supaya pinjaman bisa tepat guna.
Baca Juga
Harry menambahkan bahwa platform juga sebisa mungkin menunjukan transparansi biaya sesuai dengan pedoman Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yakni dengan memberikan akses simulasi pendanaan sebelum borrower mengajukan pinjaman. Dengan demikian, borrower bisa lebih dulu melihat berapa besar utang dan biaya lain yang harus dibayar.
“Jadi kami menegaskan kembali tidak ada hidden agenda atau hidden antara biaya yang tidak transparan. Dan kita mengedepankan akses yang baik untuk mereka bisa simulasi untuk bisa mentrial itu kira-kira ini pembiayaan atau pendanaannya berapa. Jadi tidak langsung mereka di depan daftar lalu tiba-tiba disodorkan dengan angka dan harus setuju, itu tidak,” ungkapnya.
Harry mengatakan setelah Danacita menyetujui pembiayaan, borrower juga memiliki hak untuk menolak. Terakhir, dia mengatakan bahwa Danacita berusaha untuk mengedepankan etika yang baik dalam penagihan.
Termasuk dengan melakukan soft collection kepada para borrower. “Staf-staf kami juga sudah melalui pelatihan dan mendapatkan sertifikasi dari AFPI,” katanya.
Harry berharap penjelasan tersebut bisa meluruskan stigma perihal pinjaman online (pinjol) yang selama ini tampak buruk di masyarakat karena maraknya pinjol ilegal hingga kasus gagal bayar.
“Dan mudah-mudahan ke depan kami bisa lebih meningkatkan industri ini dengan hal-hal yang positif,” ungkapnya.