Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi geopolitik saat ini sedang memanas, seiring dengan ambrolnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Gejolak tersebut dinilai akan memengaruhi kinerja laba perbankan pada 2024.
Kondisi geopolitik saat ini memang sedang panas, di mana konflik terjadi antara Iran dengan Israel. Hubungan kedua negara memanas setelah Iran meluncurkan pesawat nirawak alias drone dan rudal ke wilayah pendudukan Israel. Serangan ini merupakan babak baru dalam konflik di Timur Tengah, dimana Iran akhirnya turun langsung menyerang Israel.
Di tengah panasnya geopolitik, nilai tukar rupiah tercatat ambrol. Mengutip data Bloomberg, rupiah dibuka melemah 353,50 poin atau 2,23% menuju level Rp16.201,5 per dolar AS pada perdagangan hari ini (16/4/2024). Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,14% menuju posisi 106,35.
Jika ditarik mundur, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat menembus Rp16.000 pada 3 April 2020. Kala itu nilai tukar mata uang Indonesia menembus Rp16.300 per dolar AS.
Rupiah memang telah mencatatkan tren pelemahan sejak awal tahun ini. Tercatat, pada perdagangan awal tahun, per 2 Januari 2024 rupiah masih di level Rp15.390.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan kondisi tersebut turut memengaruhi kinerja perbankan di Tanah Air. Bank-bank menurutnya memang masih berpeluang mencatatkan pertumbuhan laba pada 2024, namun diproyeksikan tidak secemerlang 2023.
Baca Juga
"Pertumbuhannya [laba] sepertinya susah menyamai 2023 karena tekanan dari gejolak ekonomi yang bersumber dari gejolak geopolitik dan kenaikan harga minyak serta komoditas," katanya kepada Bisnis pada Selasa (16/4/2024).
Gejolak geopolitik ditambah lemahnya rupiah dikhawatirkan akan mendorong inflasi, kenaikan suku bunga, dan peningkatan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) bank. "Bank yang banyak portofolio ke kredit produktif dan jangka waktu lama seperti kredit korporasi serta mortgage akan terasa dampaknya," tutur Trioksa.
Khusus untuk kasus ambrolnya rupiah, Senior Faculty LPPI Amin Nurdin menilai bank-bank yang punya kepentingan atau portofolio bisnis luar negeri yang banyak akan terkena dampak.
"Bank-bank yang terkait aktivitas treasury, trade financing, aktivitas international banking, portofolionya di valuta asing besar, ini rawan terdampak," tuturnya.
Menurutnya, rata-rata bank yang mempunyai portofolio bisnis luar negeri besar adalah bank-bank jumbo.
Meski begitu, bank-bank lainnya bisa saja terdampak. Pelemahan ini bisa menyengat sektor riil yang lekat dengan depresiasi nilai tukar rupiah.
"In the long run akan hit juga ke sektor keuangan, karena ekonomi kita itu 70% sangat tergantung ke industri jasa keuangan khususnya perbankan. Jadi bisa berdampak juga ke bank," ujarnya.
Dia mencontohkan debitur dari sektor riil yang aktif menjalankan bisnis impor, akan sulit membayar kredit perbankan saat rupiah melemah. Hal ini memengaruhi pula kondisi rasio kredit bermasalah alias NPL perbankan.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Darmawan Junaidi juga sempat menilai bahwa lesunya rupiah berpotensi meningkatkan risiko kredit pada debitur dengan pinjaman valuta asing.
Ia pun menyebut untuk bisa mengantisipasi risiko ini, perbankan mesti memonitor secara disiplin debitur valuta asing yang pendapatannya dalam rupiah untuk memastikan kemampuan membayar atau repayment capacity dari debitur.
“Karena secara ekuivalen rupiah, maka nilai kewajiban debitur menjadi semakin besar, tapi kami sudah memperhitungkan, di mana sebagai langkah antisipatif, kami punya early warning system untuk mendeteksi potensi penurunan kinerja debitur,” ujarnya dalam paparan kinerja pada tahun lalu.