Bisnis.com, JAKARTA - Geliat bank syariah dalam pembiayaan terhadap sektor energi hijau dinilai bakal makin prospektif usai Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.
Dalam laman resminya, ketentuan fatwa tersebut adalah untuk mencegah terjadinya krisis iklim yakni mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, deforestasi alias penggundulan hutan dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Irfan Syauqi Beik menyebut penerbitan fatwa tersebut merupakan bagian dari refleksi ajaran Islam. Menurutnya, bank syariah memang telah membatasi diri untuk sejumlah sektor
“Artinya, bank syariah kecil kemungkinan membiayai industri yang mengakibatkan kerusakan alam yang sangat luar biasa, misal pembiayaan di pertambangan, itu bank syariah selektif,” ujarnya pada Bisnis, Selasa (23/4/2024)
Meski begitu, dia menyebut keluarnya fatwa itu tidak akan membuat ruang gerak pembiayaan bank syariah jadi terbatas.
“Ya karena, memang selama ini bank syariah selalu mempertimbangkan aspek kemaslahatan dalam penyaluran pembiayaan dan meminimalisir kerusakan [lingkungan],” uy.jarnya yang juga merupakan Pengamat Ekonomi Syariah IPB University.
Baca Juga
Akan tetapi, dirinya membeberkan di tengah moncernya sektor energi hijau, penting bagi bank syariah untuk mengenali konsep clean energy, perubahan iklim hingga gambaran kriteria industri yang mendukung upaya berkelanjutan alias sustainability.
“Konsep ini perlu dikuasai oleh para SDM bank syariah, sehingga bisa semakin firm dalam melakukan pembiayaan,” ucapnya.
Senada, Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia Yusuf Wibisono menyambut baik terbitnya fatwa MUI No. 86/2023 tentang pengendalian perubahan iklim.
Pasalnya, sejauh ini salah satu tantangan terbesar adalah rendahnya komitmen dan realisasi untuk pembiayaan iklim terutama di negara-negara berkembang sehingga negara-negara berkembang akan sulit memenuhi komitmen iklim mereka dan berpotensi memperburuk masalah pemanasan global.
“Terkait minimnya pembiayaan iklim di negara-negara berkembang, selayaknya bank syariah ikut berdiri di garda terdepan dalam salah satu isu paling krusial dalam peradaban manusia modern ini,” ujarnya pada Bisnis.
Menurut Yusuf, bank syariah harus menjadikan pembiayaan iklim ini sebagai salah satu prioritas tertinggi sehingga dapat menunjukkan afirmasi yang lebih kuat ke isu perubahan iklim dan pemanasan global ini.
Untuk memberikan dampak yang nyata ke perbankan syariah, baginya, fatwa MUI ini harus ditindaklanjuti dengan pembuatan regulasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Tanpa regulasi, fatwa MUI ini hanya akan bersifat tidak mengikat,” ucapnya.
Namun demikian, dirinya berharap dengan hadirnya fatwa MUI ini akan membuat bank syariah memberi perhatian yang makin besar untuk program pencegahan dan mitigasi perubahan iklim
Lebih lanjut, terkait dengan kepatuhannya terhadap fatwa MUI, Yusuf menyebut akan memberi imbas pada dua sektor
Pertama, bank syariah bakal menghindari pembiayaan pertambangan batu bara, termasuk PLTU batu bara. Kedua, perkebunan kebun sawit, termasuk industri biodiesel. Keduanya dinilai menyumbang masalah deforestasi
"Pengembangan energi terbarukan melalui biodiesel semakin memicu deforestasi karena biodiesel yang kita kembangkan berbasis pada minyak sawit," tuturnya.
Sikap Perbankan
Adapun, Direktur PT Bank BCA Syariah Ina Widjaja menyebut dengan perkembangan regulasi terkait keuangan berkelanjutan, pihaknya melakukan program-program pengembangan kapasitas di seluruh lini organisasi
“Serta melakukan pengkinian kebijakan-kebijakan yang dimiliki menyesuaikan dengan regulasi yang ada.” ujarnya pada Bisnis.
BCA Syariah mendukung pembangunan berkelanjutan diantaranya melalui penyaluran pembiayaan berkelanjutan.
Per Maret 2024 komposisi pembiayaan pada Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KUB) mencapai Rp2,7 triliun atau sebesar 30,1% dari total pembiayaan yang disalurkan oleh bank.
Adapun, dari total penyaluran pembiayaan KUB tersebut, sebesar Rp894 miliar disalurkan pada 6 sektor Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL/green financing).
Secara komposisi, 41,1% dari pembiayaan pada kegiatan usah berwawasan lingkungan BCA Syariah disalurkan untuk kegiatan efisiensi energi atau sebesar Rp367,7 miliar; 35,3% atau Rp315,4 miliar pada kegiatan usaha eco efficient atau produk yang dapat mengurangi penggunaan sumber daya dan menghasilkan sedikit polusi serta 21,9% atau sebesar Rp195,5 miliar pada kegiatan pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan.
“BCA Syariah juga secara aktif melakukan aktivitas edukasi dan sosialisasi kepada nasabah untuk meningkatkan pemahaman nasabah terhadap isu ESG,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Direktur PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Bob Tyasika Ananta menyebut pembiayaan batu bara sangatlah terbatas. Sejauh ini, perseroan terus fokus membangun Islamic ecosystem.
“Tapi, kalau ada grupnya dan kemudian ada sedikit batu baranya ya kita akan lihat grupnya secara keseluruhan,” ujarnya saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.