Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap sejumlah jurus untuk menangkal naiknya klaim kesehatan industri asuransi jiwa.
Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) pada kuartal I/2024, klaim kesehatan di industri asuransi jiwa meningkat sebanyak 29,6% secara tahunan (year on year/yoy) atau menjadi Rp5,96 triliun dari Rp4,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada periode tahun lalu, klaim kesehatan juga mengalami kenaikan sebanyak 38,6% dibandingkan Rp3,32 triliun pada kuartal I/2022. Kenaikan klaim tersebut dipicu oleh inflasi medis serta banyaknya masyarakat yang mulai berobat pasca pandemi Covid-19. Meskipun harus dikaji lebih mendalam, kenaikan juga disebut-sebut lantaran adanya overtreatment oleh Rumah Sakit (RS).
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono mengungkap pihaknya melakukan pembenahan ekosistem asuransi kesehatan, dengan tujuan untuk mendorong praktek pengelolaan risiko yang memadai dan efisiensi pengelolaan biaya kesehatan.
“Seluruh pemain dalam ekosistem ini harus didorong untuk memberikan efisiensi biaya medis,” kata Ogi dalam jawaban tertulis pada Selasa (11/6/2024).
Dari sisi nasabah, Ogi mengatakan perlu didorong untuk mulai memiliki kebiasaan hidup sehat sehingga dapat mendorong produktivitas yang lebih panjang dan potensi sakit yang lebih kecil, sehingga biaya yang dibutuhkan lebih efisien.
Baca Juga
Hal tersebut menurutnya dilakukan melalui sosialisasi yang masif terhadap seluruh pemegang polis asuransi tentang pentingnya hidup sehat.
“Materi sosialisasi diperoleh dari infografis yang disediakan oleh RS rekanan,” imbuhnya.
Ke depan, lanjut Ogi, OJK juga mendorong untuk menggunakan teknologi digital dan Gen Artificial Intelligence (AI) untuk mulai membangun database yang dapat digunakan dalam "telekonsultasi", semacam konsultasi dengan dokter umum secara digital, untuk meminimalkan kunjungan ke RS. Saat ini OJK juga mendorong pemanfaatan fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti klinik untuk memberikan layanan kesehatan.
Ogi menambahkan aspek berikutnya adalah mendorong pemanfaatan teknologi digital melalui host-to-host dengan RS untuk membangun database yang baik dan memungkinkan pemberian layanan medis yang lebih cepat dan terukur secara medis, yang memenuhi kaidah clinical pathways untuk layanan medis dan efficacy yang memadai untuk obat.
Adapun database yang diperoleh dari sistem host-to-host ini akan digunakan untuk melakukan utilization review dengan RS rekanan untuk mendorong layanan medis dan obat yang lebih efisien, dengan mengedepankan aspek clinical pathways dan efficacy yang memadai.
Teknologi digital tersebut memungkinkan untuk memitigasi risiko fraud dari pengguna jasa asuransi dan fasilitas kesehatan sebagai penyedia layanan medis.
“Bagian terakhir adalah pembentukan database asuransi kesehatan untuk membangun risk scoring yang memadai dan untuk memitigasi pengguna dan penyedia jasa dari risiko fraud,” ungkap Ogi.
Upaya tersebut dilakukan OJK bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memastikan hasil utilization review dapat diterapkan dalam pemberian layanan medis dan obat oleh RS rekanan. Kemudian OJK juga mendorong perusahaan asuransi untuk membentuk Medical Advisory Board yang akan memberikan masukan berkala atas layanan medis yang ada sehingga perusahaan asuransi, berdasarkan data yang ada dari pemberian asuransi kesehatan, dapat mengkomunikasikan hasilnya dengan RS rekanan.
Tidak hanya sampai disitu, Ogi melanjutkan OJK juga mendorong perusahaan asuransi untuk membangun database kepesertaan asuransi kesehatan untuk memastikan dapat memperoleh database yang memadai tentang pengalaman loss ratio dari badan usaha yang ditutup dan dari individu, serta untuk memitigasi risiko fraud dari nasabah berbentuk badan usaha dan individu. Database tersebut nantinya akan digunakan oleh seluruh perusahaan asuransi yang memberikan layanan asuransi kesehatan.
Terakhir OJK juga mendorong perusahaan asuransi untuk mereview kembali fitur produk yang dipasarkan sehingga sesuai dengan kebutuhan nasabah dan tidak berlebihan dan mudah untuk dimanfaatkan dengan tidak bertanggung jawab.
“Perusahaan asuransi juga harus membekali tenaga pemasar dengan pemahaman produk yang memadai sehingga dapat menjelaskan dengan baik kepada calon nasabah,” tandas Ogi.