Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki paruh kedua 2024, pertumbuhan kredit tampak mulai menunjukkan gejala melambat. Setelah secara beruntun terus menanjak dari awal tahun hingga tumbuh menembus 13,09% (YoY) pada April 2024, kucuran kredit sedikit tersendat pada Mei dan Juni 2024 dengan tumbuh lebih rendah masing-masing 12,15% (YoY) dan 12,36% (YoY).
Dibedah sedikit lebih dalam, perlambatan pertumbuhan kredit terjadi pada jenis kredit produktif. Pada April 2024, kredit investasi dan modal kerja tumbuh 15,69% (YoY) dan 13,25% (YoY), tetapi pada Mei dan Juni 2024 kredit investasi tumbuh melambat menjadi 14,80% (YoY) dan 15,09% (YoY) sedangkan kredit modal kerja tumbuh 11,59% (YoY) dan 11,68% (YoY).
Sebaliknya kredit konsumsi terus mendaki dengan perlahan. Pada April 2024 kredit konsumsi tumbuh 10,34% (YoY), kemudian pada Mei dan Juni 2024 kembali naik masing-masing 10,47% (YoY) dan 10,80% (YoY).
Meski terlihat ada gejala melambat, tetapi diperkirakan capaian kredit tetap berada dalam sasaran Bank Indonesia di 10%—12% hingga akhir 2024. Ada beberapa alasannya. Pertama, prospek pertumbuhan ekonomi global masih cukup kuat.
Dalam World Economic Outlook (WEO) Juli 2024, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global mencapai 3,2% pada 2024 dan 3,3% pada 2025. Proyeksi itu tidak berubah ketimbang proyeksi dalam WEO edisi April 2024. Sikap terbaru Bank Sentral AS juga tampak melunak terhadap target inflasi AS sehingga ada potensi suku bunga The Fed akan turun.
Sementara prospek ekonomi domestik juga masih cukup baik, didukung permintaan domestik. Konsumsi rumah tangga dan investasi yang menopang PDB triwulan II/2024 masih akan berperan dalam pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini.
Baca Juga
Terlebih adanya rencana peningkatan stimulus fiskal dari 2,3% menjadi 2,7% dari PDB. Masih kondusifnya prospek ekonomi global dan domestik akan mendorong permintaan kredit korporasi dan rumah tangga, terutama dari kelas menengah-atas.
Kedua, Bank Indonesia juga tidak akan mengerek suku bunga acuannya meski nilai tukar masih berada di atas Rp16.000. Terakhir Bank Indonesia menaikkan BI Rate pada April 2024 sebanyak 25 basis poin menjadi 6,25% dan mempertahankannya sejak Mei hingga Juli 2024.
Pasalnya, penggunaan instrumen suku bunga merupakan opsi pamungkas. Apalagi gejolak nilai tukar rupiah saat ini dinilai masih temporer dan ada peluang suku bunga The Fed akan menurun di kuartal III/IV tahun ini. Bahkan apabila inflasi terus terkendali dan rupiah menguat, ada peluang Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate.
Oleh karena itu untuk menjinakkan gejolak nilai tukar rupiah sekaligus menarik aliran masuk modal asing, Bank Indonesia lebih mengandalkan kebijakan triple intervention yang mencakup intervensi di pasar valas pada transaksi spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), dan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.
Selain itu, Bank Indonesia juga mengoptimalkan instrumen operasi moneter pro pasar seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Berdasarkan catatan bank sentral hingga 15 Juli 2024, instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI mampu menarik dana masing-masing Rp775,45 triliun, US$1,82 miliar, dan US$267 juta. Penerbitan SRBI berhasil menarik masuk dana asing ke dalam negeri. Ini terlihat dari kepemilikan nonresiden yang mencapai Rp220,35 triliun atau 28,42% dari total outstanding.
Optimalisasi perolehan devisa hasil ekspor (DHE) juga terus dilakukan melalui penguatan koordinasi Bank Indonesia, pemerintah, perbankan dan dunia usaha. Kian banyaknya DHE akan menambah pundi-pundi valuta asing.
Ketiga, untuk mempertahankan agar kredit tetap dalam jalur sasaran, memang diperlukan dukungan kecukupan likuiditas sebagai amunisi utama. Ke depan, likuiditas diperkirakan tetap akan memadai. Setidaknya ini ditandai dari perolehan dana pihak ketiga (DPK) yang masih cukup positif.
Pada kuartal II/2024, catatan Bank Indonesia menunjukkan DPK tumbuh cukup kuat mencapai 8,45% (YoY). Sementara alat likuid yang ada tetap tinggi lebih kurang mencapai Rp2.400 triliun, terutama dalam bentuk penempatan di Bank Indonesia dan SBN. Perbankan diketahui menggunakan alat likuid sebagai amunisi tambahan untuk mengucurkan kredit.
Meski kondisi pertumbuhan DPK sedikit di bawah pertumbuhan kredit dan menutupi lubang tersebut dengan mencairkan alat likuid, tetapi kondisi likuiditas dan ketahanan perbankan masih cukup kuat. Rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) masih cukup tinggi mencapai 25,36% pada kuartal II/2024 dan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 26,14%.
Dari sisi Bank Indonesia juga tetap mengandalkan kebijakan makroprudensial longgar yang pro pertumbuhan, terutama terkait dengan upaya menjaga kecukupan likuiditas perbankan. Insentif likuiditas dalam skema Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) terus dioptimalkan dan kepada bank perlu terus didorong untuk meningkatkan insentif yang berupa pengurangan giro wajib minimum (GWM) itu.